KANAL24, Malang – Salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya baru saja selesai menempuh gelar doktornya di 2 universitas sekaligus, yakni Doctoral Program in Business Economics, Gent University dan Doctoral Program in Applied Economics Antwerp University.
Adalah Radityo Puto Handrito, Ph.D yang merupakan dosen Prodi Kewirausahaan FEB UB. Pada hari Jumat (26/2/2021) digelar Bedah Disertasi miliknya yang berjudul “Menjadi Wirausahawan yang Berorientasi Lingkungan” oleh Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB).
Pada bedah disertasi daring ini, hadir sebagai pembahas yakni Ananda Sabil Husein, Ph.D Kaprodi Kewirausahaan FEB UB, Dias Satria, Ph.D Kepala Bidang Mobilitas Staf dan Mahasiswa Kantor Urusan Internasional UB, Sri Palupi Prabandari, Ph.D Dosen Probi Manajemen FEB UB, dan Yeney W. Prihatiningtyas, Ph.D Sekretaris Jurusan Akuntasi FEB UB.
Radit menjelaskan kebijakan atau perilaku yang berorientasi lingkungan saat ini masih dipandang sebagai sebuah kebijakan atau perilaku yang levelnya paling tinggi.
Kebijakan-kebijakan yang sudah ditempuh oleh Pemerintah saat ini sudah baik, mulai dari memberikan insentif pajak, carbon tax, stimulus-stimulus lain baik yang sifatnya moneter maupun yang tidak untuk meningkatkan engagement dari pelaku usaha baik di UMKM maupun di corporate agar lebih berorientasi lingkungan.
“Kebijakan saat ini tidak ada yang salah, karena masing-masing dilandasi oleh stimulus maupun kondisi lingkungan tempat bisnis tersebut beroperasi. Akan tetapi yang tidak bisa kita nafikkan adalah kondisi lingkungan di sekitar perusahaan atau Indonesia secara umum masih belum menunjukkan nilai signifikasi secara umum.
Bahkan beberapa laporan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia masih cukup tinggi dengan banyaknya bencana banjir, climate changes, dan isu-isu lingkungan yang lain. Berarti kita dapat sampaikan bahwa kebijakan saat ini sudah baik tetapi belum optimal untuk meningkatkan engagement para pelaku usaha dalam menerapkan kebijakan berorientasi lingkungan,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Radit memang perlu satu perspektif lain yang kemudian memicu keingintahuannya tentang ada tidak faktor-faktor selain dari stimulus eksternal, bukan hanya soal insentif, coverage dari media, tax, dan moneter yang sifatnya eksternal. Padahal sebenarnya Indonesia bisa meningkatkan orientasi lingkungan dan meningkatkan engagement yang mana wirausaha itu tidak perlu biaya yang mahal, yakni dengan menyasar inner circle dari wirausahawan itu.
“Sebelum merumuskan sebuah kebijakan yang berdasarkan implisit motif, kita harus memahami bagaimana implisit motif itu dapat terbentuk. Sayangnya implisit motif itu dapat terbentuk dalam waktu yang sangat panjang bukan. Maka yang harus dilakukan pertama kali adalah menyasar tingkat pendidikan. Apakah kita sudah memberikan pendidikan berwawasan lingkungan sejak dini? Apakah pengetahuan tentang green economy telah menjadi kurikulum wajib bagi murid level sekolah dasar hingga menengah. Karena tanpa ada proses jangka panjang, kebijakan yang sifatnya eksternal dan jangka pendek itu tidak akan optimal,” kata dosen berkacamata tersebut.
Harapannya, mereka yang sejak dini dipapar pengetahuan berwawasan lingkungan, mengenai pro environmental dan sustainability policy nantinya menjadi pelaku usaha dengan distimulus oleh insentif-insentif eksternal maka kombinasi antara implisit dan eksplisit motif akan terjadi. Dan diharapkan ini terjadi pada 10 atau 20 tahun yang akan dating. (Meg)