oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Perspektif komunikasi profetik menekankan terhadap pentingnya suatu nilai kualitas atas pesan komunikasi yang diproduksi. Bahkan pesan yang tidak berkualitas dianggap sebagai suatu kegagalan dan ketersia-siaan dalam menjalani proses komunikasi antar manusia. Bahkan pendekatan profetik ini tidak hanya menganggapnya gagal melakukan interaksi dan komunikasi melainkan pula masuk dalam ketegori larangan. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu:
وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ
dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, (QS. Al-Mu’minun, Ayat 3).
Kualitas komunikasi seseorang dalam perspektif profetik berkorelasi dengan nilai keimanan dan menjadi ciri identitas seorang muslim yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam teks sabda Nabi :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR.Bukhari no. 6018)
Bahkan ditegaskan pula dalam sabdanya yang lain :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317,
Kualitas komunikasi tampak pada produksi pesan baik verbal maupun non verbal termasuk adalah tindakan seseorang baik dalam aspek intrapersonal maupun antar personal yaitu sejauh mana ucapan dan tindakan itu memberikan manfaat pada orang lain atau bahkan sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam teks sabda nabi :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak menyakiti orang lain” (HR. Bukhari no. 10)
Pandangan profetik memahami bahwa setiap pesan apapun yang diproduksi oleh seseorang tidak terlepas dari penilaian dan pencatatan malaikat yang kelak harus dipertanggungjawabkan oleh setiap individu. Apakah pesan komunikasi yang diproduksi seseorang bernilai positif, kebaikan ataukah negatif (keburukan dan kemudharatan). Sehingga kualitas pesan komunikasi akan menentukan kualitas masa depan. Sehingga setiap individu harus mempertimbangkan dengan baik dalam menyusun pesan terkait dengan isi dalam konteks, nilai kemanfaatan, dan sebagainya. Sebab semua pesan yang diproduksi akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana informasi teks sumber wahyu :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ . إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ .مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 16-18).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Yang dicatat adalah setiap perkataan yang baik atau buruk. Sampai pula perkataan “aku makan, aku minum, aku pergi, aku datang, sampai aku melihat, semuanya dicatat. Ketika hari Kamis, perkataan dan amalan tersebut akan dihadapkan kepada Allah” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 187).
Perspektif komunikasi profetik menekankan pentingnya kebermaknaan pesan komunikasi dalam interaksi antarpersonal. Sehingga menolak segala bentuk kesiaa-siaan (meaningless) ucapan dan tindakan. Termasuk dalam bentuk komunikasi kesia-siaan (meaningless communication) adalah berucap yang tidak ada faedahnya, tidak ada gunanya, tidak ada nilainya, omong kosong, bersenda-gurau yang tak ada ujung pangkalnya, menghabiskan waktu untuk melamun, bermain yang tidak manfaat (games dan sebagainya) dan menghabiskan waktu untuk tindakan yang tidak manfaat. Berbagai alasan seseorang bertindak sia-sia karena rendahnya kesadaran diri (self awareness), motivasi yang rendah, serta memiliki konsep diri (self concept) yang lemah, tertutup oleh eksklusifitas diri, ketidaktahuan dalam mengembangkan diri serta memilik tanggungjawab yang rendah dalam pengelolaan waktu.
Termasuk ucapan dan tindakan yang menfaat (meaningfull) adalah mengajak dan mengingatkan orang pada kebaikan serta menolak kemungkaran (melakukan amar makruf nahi mungkar), banyak berdzikir serta beribadah kepada Allah, memanfaatkan waktu untuk menghasilkan produktifitas dan karya, memikirkan penciptaan alam semesta (tadabbur) untuk semakin mendekatkan diri pada Allah swt, segala tindakan yang memberikan manfaat bagi orang lain. Seseorang yang demikian termasuk orang yang sadar diri dan mampu mengelola waktunya dengan baik. Seseorang yang tidak mensia-siakan ucapan dan tindakan (allaghwu, meaningless) adalah tanda pribadi yang memiliki semangat pengembangan diri yang sangat baik (self achievement) serta memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pengelolaan waktu. Demikian sebagaimana dalam teks sumber wahyu :
وَٱلۡعَصۡرِ . إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr:1-3)
Seseorang yang tidak mensia-siakan waktu adalah orang yang memiliki konsep diri yang sangat baik dibangun atas nilai dasar keimanan dan seorang yang mampu memanfaatkan potensi dirinya untuk melakukan tindakan penuh kemanfaatan, amal shalih. Inilah pribadi yang penuh kebermaknaan (meaningfull) dalam menjalani hubungan antarpribadi menuju pribadi yang berkualitas.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB.