oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setiap kali terjadi bencana selalu ada diskursus dalam masyarakat apakah bencana itu merupakan ujian ataukah musibah atau sebuah adzab. Tidak sedikit orang memberikan justifikasi atas sebuah bencana dengan salah satu terminologi tersebut tanpa mengetahui dengan baik perbedaan dari ketiganya. Sebab ketiga terminologi tersebut memiliki persepsi dan interpretasi yang berbeda serta berdampak secara psikologis.
Seseorang disaat mendapatkan suatu masalah dan persoalan, kesusahan ataupun kesedihan pasti melakukan self intropection dengan mengatakan apakah mungkin ini adalah adzab atau musibah bagi dirinya sebab dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Demikian pula disaat awal kasus covid-19 ini mewabah yang bermula dari kota Wuhan China, tidak sedikit orang-orang menjustifikasi bahwa ini adalah adzab bagi bangsa China yang dianggap telah berlaku sewenang-wenang terhadap kaum muslimin disana. Artinya sebuah penyakit atau wabah dapat menjadi diskursus publik untuk menjustifikasi secara tendensius atas korban.
Ketiga terminologi bencana tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut :
1. Ujian, cara untuk menguji dan mnngetahui nilai dari suatu mutu tertentu. Hidup sejatinya adalah ujian. Kematian dan kehidupan adalah berisi serangkaian ujian yang harus dilalui oleh setiap orang untuk mengetahui kualitas dari apa yang diuji. Ujian dapat berupa kesusahan, kesempitan, tetapi dapat juga ujian berupa kebahagiaan dan kelebihan rezeki. Ujian adalah untuk menguji siapa yang terbaik diantara mereka. Sebagaimana disebutkan :
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk, Ayat 2)
Keberadaan ujian adalah untuk memilih siapa yang terbaik dalam menjalaninya, apakah bersedia bersabar atau tidak. Ujian dapat pula sebagai mekanisme untuk menunjukkan rasa kasih sayang Tuhan Allah swt kepada hambaNya. Sehingga dikatakan dalam hadits bahwa Allah swt mencintai seorang hamba maka Allah akan mengujinya untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran cinta. Demikian pula bahwa ujian ini adalah cara mengetahui kualitas manusia, sebagaimana sabda Nabi , “Wahai Rasulallah! Siapakah orang yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab, “Para Nabi. Kemudian kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya“. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Ditegaskan pula dalam sebuah hadits bahwa, “Bila Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka. Barangsiapa bersabar, ia akan mendapatkan (pahala) kesabaran. Dan barangsiapa mengeluh, ia akan mendapatkan keluhan.”(HR. Ahmad).
Demikian pula bahwa ujian adalah cara untuk menghapus dosa dari para pelakunya. Sebagaimana dijeaskan dalam hadits Nabi, “Tidak ada seorang muslim yang tertimpa cobaan berupa sakit maupun selainnya, melainkan dihapuskan oleh Allah Ta’ala dosa-dosanya, seperti sebatang pohon yang menggugurkan daunnya“. (HR. Muslim)
Sehingga dari hal demikian maka setiap orang yang digapacang Ujian juga sebagai cara Allah merindu pada hambaNya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Pergilah pada hambaKu, lalu timpakanlah berbagai ujian padanya kerena Aku ingin mendengar rintihannya.” (HR. Thabrani )
Ujian adalah tanda cinta Sang Kholiq kepada hambanya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah swt berkata : “Pergilah pada hambaKu, lalu timpakanlah berbagai ujian padanya kerena Aku ingin mendengar rintihannya.” (HR. Thabrani )
Artinya dimensi ujian sangatlah luas yaitu bisa berupa kesusahan ataupun kebahagiaan. Tujuan dari diberikannya ujian adalah sebagai mekanisme untuk mengevaluasi diri dan melakukan perubahan menuju kearah yang lebih baik. Ujian adalah mekanisme untuk mengenali diri lebih baik serta mengetahui sejauh mana derajat seseorang. Apabila setiap ujian dihadapi dengan kesabaran dan ketawakkalan maka pintu hikmah akan mewarnai setiap langkahnya.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB