Oleh : Agus Andi Subroto
Saat saya menulis tulisan ini. Saya sedang duduk santai di depan rumah besar milik orang kaya di bilangan Darmo Surabaya. Kenapa saya parkir di sini, halaman rumahnya rindang, ada pohon sawo kecik, saya suka sekali dengan pohon ini, saya kemudian memilih duduk di bawahnya.
Sambil parkir tunggu dapat orderan penumpang. Plus sembari ngoprek aplikasi software Smart PLS versi 3 belajar tentang fungsi moderating dan intervening dari sebuah permodelan yang sedianya saya akan buat untuk sebuah model penelitian yang saya kerjakan!
Tetiba saja sebuah notif hape berbunyi, dari sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti.
Kemudian saya lihat ada share sebuah media koran lama yang diagihkan oleh seorang senior. Yaitu koran Surabaya Post yang terbit 22 Maret 1995. Dengan headline berjudul “Fungsi HMI Diambil Alih NU”
Sekonyong saja saya jadi tertarik membaca isi beritanya yang ditulis oleh Gusdur tersebut. Spontan pun saya bergumam dalam hati, “ya memang demikian faktanya Gus, keadaan yang terjadi di HMI!”
HMI sebagai organisasi mahasiswa tertua, sangat kental perannya sebagai penghubung, penjembatan beragam komunitas yang ada di Islam. Bahkan tidak terbatas itu saja, peran penjembatan sebagai penghubung masif juga dilakukan dengan komunitas agama yang berbeda. Hal ini tampak terlihat pada medio awal dan pertengahan organisasi mahasiswa ekstra kampus ini ada. Apalagi peran itu sangat terlihat dengan fenomena munculnya Cak Nur (Nurcholis Madjid), mengusung pemikiran plural dalam Islam.
Sinyalemen yang disampaikan Gusdur pada tulisannya. Bahwasanya kebanyakan anak HMI lebih mengedepankan keselamatan Islam daripada kemaslahatan (kebaikan umat) mulai terjadi tidak hanya sekarang saja, namun telah terjadi sejak dua puluh tahun yang lalu.
Peran sebagai penghubung, dahulu begitu masif dimainkan oleh Cak Nur. Baik pada ranah berpikir maupun pada aksi-aksi kerja keintelektualan. Namun sayangnya, lagi-lagi disampaikan oleh Gusdur. Peran itu tidak secara masif diikuti oleh internal organisasi HMI.
Kemudian muncul sebuah fenomena baru yang awalnya HMI mampu berada di mana-mana. Sebagai media penghubung. Sekarang justeru peran itu dilakukan oleh anak-anak NU. HMI semenjak ditinggalkan oleh Cak Nur, rada confused memerankan sebagai penjembatan umat lagi, terkhusus pada ranah pikiran.
Fakta di lapangan baik pada kehidupan formal dan informal. HMI dan bahkan KAHMI nya juga masih sering ribut pada persoalan-persoalan menyelamatkan Islam pada level aksesoris semata, tidak sibuk serta istiqomah membangun kesejahteraan umat. Setidaknya itu yang penulis rasakan juga. Bisa jadi hal yang demikian bisa membuka ruang diskusi yang panjang. Tetapi setidaknya dari tulisan Gusdur di atas, ada ruang evaluasi untuk HMI sebagai sebuah organisasi kader tertua, guna mengambil peran yang dahulu pernah dengan apik dimainkan, bahkan bisa lebih kalau bisa.
Terima kasih kepada senior yang telah sudi berbagi informasi yang berharga.
Berharap HMI ke depannya semakin bisa berbicara dan bertindak demi kemaslahatan umat, bukan terjebak mempersoalkan keselamatan agama saja. Toh esensi beragama adalah melaksanakan nilai-nilai dalam agama ini untuk membuat umat manusia di semesta ini lebih sejahtera.
Demikian kiranya sebuah tulisan pendek tidak sempurna ini, menjadi hadiah kecil penulis teruntuk Anda semuanya, sembari menunggu datangnya orderan dari pelanggan.
Selamat siang semuanya…????????????
Penulis : Alumni HMI, wirausaha dan pakar manajemen embongan