Oleh: Aminullah Achmad Muttaqin, M.Sc.Fin
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, karena berbagai keutamaan yang dimilikinya dan tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Sehingga, bulan Ramadhan selalu dinanti-nantikan oleh setiap Muslim di penjuru dunia. Diampuninya segala dosa-dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan merupakan salah satu keutamaan di bulan Ramadhan, dan masih banyak lagi lainnya. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim (khususnya) sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan kebaikan di bulan Ramadhan.
Salah satu amalan wajib di bulan Ramadhan tentunya adalah puasa Ramadhan. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 183 berikut,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Puasa di bulan Ramadhan sudah menjadi kewajiban untuk umat-umat terdahulu hingga sekarang sebagai bentuk ketaqwaan kita sebagai hamba terhadap Tuhannya, yaitu kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, kita diharuskan untuk menahan lapar dan haus serta segala sesuatu yang membatalkan puasa, termasuk menahan hawa nafsu agar tidak berlebih-lebihan terhadap sesuatu.
Sikap berlebih-lebihan bukanlah moral seorang Mukmin. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Fathimah Az-Zahra ra dari Rasulullah ﷺ: “Orang-orang yang paling buruk dari umatku adalah orang-orang yang dijejali kenikmatan, mereka yang makan dengan bermacam-macam makanan, berpakaian dengan bermacam-macam busana, dan banyak bicara omong kosong”.
Sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Umar al-Faruq menceritakan bahwa Umar bertemu dengan Jabir bin Abdullah yang sedang membawa uang satu dirham. Umar bertanya, “Untuk apakah uang satu dirham itu?”. Ia menjawab, “Saya ingin membelikannya daging yang disukai oleh keluarga saya”. Lalu, Umar pun berkata, “Apakah setiap kali kamu suka sesuatu, kamu membelinya?”
Pertanyaan tersebut jelas mengandung sindiran bahwa tidak dianjurkan untuk memakan makanan atau minuman secara berlebih-lebihan meskipun itu makanan yang sangat kita sukai dan halal. Karena menuruti setiap keinginan (nafsu) kita, menjadikan jiwa cenderung terhadap dunia. Yang akhirnya menyebabkan kita tidak lagi mampu menolak kata hati yang telah dipenuhi oleh nafsu semata.
Selanjutnya, berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman juga dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti gangguan pencernaan dan kegemukan. Orang yang kekenyangan dan kegemukan akan mudah terjangkit rasa malas, lamban dalam bergerak, mudah mengantuk, dan cenderung tidak berdaya dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kegesitan dan kelincahan. Oleh karenanya, Islam mengarahkan manusia untuk bersikap wajar dalam mengonsumsi makanan dan minuman yang halal. “Dan makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf: 31). Dalam hal ini, Islam menginginkan seorang mukmin yang kuat karena Allah ﷻ. lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah.
Terakhir, sikap berlebih-lebihan dapat memunculkan kesenjangan sosial dan mengantarkan pada ketidakseimbangan pasar. Umar al-Faruq berkata kepada Jabir “Tidak inginkah seorang diantara kamu mengencangkan perutnya untuk anak paman dan tetangganya?”. “Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-senang (menikmati)nya” (QS. Al-Ahqaf: 20). Seseorang hendaknya dapat menjaga hubungan baik terhadap keluarga, kerabat maupun tetangganya dan menahan keinginan konsumtifnya serta memiliki sikap empati untuk membantu saudara dan tetangga yang sedang membutuhkan.
Dengan demikian, tidak akan ada jurang pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Memperturutkan hawa nafsu untuk kegiatan konsumtif dan memenuhi gaya hidup untuk menikmati kesenangan duniawi dapat mendukung terjadinya kenaikan harga-harga, tidak tersedianya barang komoditi di pasar, dan praktek monopoli yang semakin merebak. Sementara itu, pendidikan ekonomi bagi setiap individu Muslim dan umat Islam dituntut untuk dapat bersikap pertengahan dalam belanja dan konsumsi. Sehingga, harta yang tersedia dapat dialokasikan untuk pembelanjaan produktif yang bermanfaat.
Sejatinya, puasa di bulan Ramadhan memiliki banyak sekali manfaat. Salah satunya pun, mengajarkan kita untuk dapat bersikap hemat. Berkaitan dengan hal ini, al-hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Darda’ dari Nabi ﷺ, yaitu “Termasuk (bukti) kefahaman seseorang adalah sikap hematnya dalam hidupnya”.
Dalam hal ini, bersikap hemat tentu berbeda dengan bersikap pelit, yakni mampu memilah dan memilih apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan. Dalam ekonomi islami, kebutuhan erat kaitannya dengan maslahat (kebermanfaatan), sedangkan keinginan didasarkan pada utility (kepuasan). Oleh karenanya, dalam melakukan konsumsi tentu harus dilihat sisi kebermanfaatannya, tidak hanya menuruti kepuasan dunia saja. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis: Dosen FEB UB