Kanal24, Malang – “Marketplace itu ibarat perpustakaan digital. Ada referensinya, ada sumbernya, dan ada deskripsi yang menjelaskan sebuah produk. Literasi digital penting agar kita bisa memahami bagaimana informasi bekerja di dalamnya,” tegas Yanuar Rakhmad, pakar media sosial dan e-commerce yang pernah berkarier di Tokopedia, Lazada, hingga TikTok.
Hal tersebut ia sampaikan dalam The 3In1 Program Session 2 bertajuk “From Libraries to Marketplace: Building Digital Literacy through Information Networks” yang digelar Program Studi Ilmu Perpustakaan FIA Universitas Brawijaya pada Selasa (16/9/2025). Acara yang berlangsung di Hall lantai 3 Gedung C FIA UB itu dihadiri mahasiswa dan dosen, dengan tujuan menghubungkan literasi perpustakaan dengan dinamika industri digital.
Baca juga:
Manajemen Talenta Nasional Cetak Penulis Muda

Menurut Yanuar, mahasiswa harus mulai membiasakan diri memahami keterkaitan antara literasi digital dan sistem kerja marketplace. Sama seperti perpustakaan, marketplace menyajikan informasi yang harus dipahami dan dipilah. Bedanya, informasi tersebut hadir dalam bentuk produk, konten promosi, maupun data transaksi.
Literasi Digital dan Algoritma
Yanuar menegaskan bahwa marketplace modern bekerja berdasarkan algoritma. Sistem tersebut dibangun dari perilaku pengguna, mulai dari apa yang mereka cari, produk yang mereka lihat, hingga konten yang mereka konsumsi. Karena itu, literasi digital menjadi bekal utama untuk bisa beradaptasi.
“Kalau kita tidak paham algoritma, kita hanya akan jadi penonton. Literasi digital mengajarkan kita membaca pola, mengenali informasi yang kredibel, dan memahami cara kerja sebuah sistem digital,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya memahami deskripsi produk, ulasan pembeli, serta referensi yang mendukung keaslian suatu barang. Menurutnya, mahasiswa harus melatih diri agar tidak mudah terjebak pada informasi yang salah atau menyesatkan.
AI dan Tantangan Baru Industri
Selain algoritma, Yanuar menyoroti peran kecerdasan buatan (AI) yang kini menjadi bagian penting dari industri digital. AI, menurutnya, tidak hanya bekerja di balik layar untuk mengatur rekomendasi produk, tetapi juga berfungsi menjaga kualitas informasi dan konten di platform marketplace.
“Sekarang kita hidup berdampingan dengan AI. Marketplace punya tim risk dan safety yang memanfaatkan AI untuk mendeteksi penipuan, memfilter konten, dan melindungi konsumen. Mahasiswa harus tahu bagaimana sistem itu bekerja agar tidak kaget ketika terjun langsung ke industri,” kata Yanuar.
Ia menekankan bahwa memahami AI bukan berarti harus menjadi ahli pemrograman, melainkan memiliki literasi yang cukup untuk memahami bagaimana teknologi itu memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Mahasiswa sebagai Pelaku Industri Digital
Lebih jauh, Yanuar mengingatkan mahasiswa agar tidak hanya memposisikan diri sebagai penjual di marketplace. Industri digital modern membuka banyak peran lain yang bisa dimanfaatkan tanpa harus memiliki modal besar.
“Banyak mahasiswa berpikir kalau mau masuk marketplace harus jadi penjual. Padahal ada jalan lain. Mereka bisa jadi konten kreator, reviewer produk, afiliator, bahkan influencer yang membantu mempromosikan produk. Dari situ mereka bisa mendapat penghasilan tanpa harus punya stok barang,” jelasnya.
Yanuar memberi contoh bagaimana seorang konten kreator bisa mendapat komisi melalui program afiliasi, atau seorang reviewer produk yang mendapat bayaran dari setiap ulasan. Ia menekankan bahwa mahasiswa harus berani mencoba berbagai peran agar bisa menemukan posisi terbaik di industri digital.
“Jangan hanya jadi follower. Cobalah jadi translator, yang bisa menerjemahkan perkembangan teknologi ke dalam tindakan nyata. Jangan takut pada teknologi. Justru dengan literasi digital, kita bisa menguasai dan memanfaatkannya,” tambahnya.
Bekal untuk Mahasiswa
Di akhir paparannya, Yanuar memberikan dua pesan penting kepada mahasiswa. Pertama, perlunya metodologi penelitian sebagai kerangka berpikir. Dengan metodologi, mahasiswa dapat menganalisis fenomena digital secara lebih kritis dan terstruktur. Kedua, keberanian untuk mencoba hal baru.
“Metodologi penelitian itu penting banget untuk membentuk cara berpikir kita. Dan yang lebih penting lagi, jangan takut mencoba. Banyak orang mundur karena merasa teknologi itu sulit. Padahal kalau dicoba, kita bisa menguasainya pelan-pelan,” pungkasnya.

Baca juga:
Pendidikan Gratis Pasca Putusan MK: Antara Janji Konstitusi dan Political Will Pemerintah
Respon dari Moderator
Moderator acara, Endry Putra, S.I.Kom., M.I.Kom., menyambut baik paparan Yanuar. Ia menilai materi tersebut sejalan dengan arah pengembangan kurikulum Prodi Ilmu Perpustakaan FIA UB, yang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri.
“Apa yang disampaikan Pak Yanuar sangat relevan. Dunia industri bergerak cepat ke arah digital, dan mahasiswa harus disiapkan sejak dini. Program 3In1 ini memang kami rancang untuk menghubungkan teori akademik dengan praktik nyata di lapangan,” ujar Endry.
Ia menambahkan, dengan menghadirkan praktisi berpengalaman, mahasiswa bisa melihat langsung bagaimana literasi digital berperan dalam dunia kerja. “Harapannya, mahasiswa tidak hanya memahami teori, tapi juga siap mempraktikkannya begitu mereka lulus,” tutupnya. (nid/tia)