KANAL24, Malang – Menjaga perdamaian dan toleransi menjadi salah satu tantangan untuk memajukan Indonesia, serta merupakan kewajiban semua pihak, mulai dari individu warga negara, masyarakat, lembaga pemerintahan, hingga institusi pendidikan. Namun penguatan toleransi dari aspek individu harus diawali dari keluarga, dalam hal ini adalah orang tua. Demikian disampaikan Peneliti dan Akademisi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP-UB) Dr. Ika Widyarini, MLHR., Psikolog.
Menurut Ika, orang tua merupakan bagian dari keluarga inti yang paling banyak berinteraksi dengan anak-anak sejak dini. Oleh karena itu, pengarahan dan bimbingan orang tua untuk memberi pemahaman tentang adanya perbedaan dalam hidup sangatlah penting.
“Orang tua harus mampu menjelaskan bahwa perbedaan dalam hidup sangatlah niscaya dan hal itu biasa,” ungkap Ika dalam webinar dengan tema Toleransi Kunci Perdamaian NKRI, yang diselenggarakan oleh Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) Good Governance, Jurusan Psikologi FISIP UB, Sabtu (28/8/2021).
Senada dengan Ika, Peneliti dan Akademisi Jurusan Psikologi FISIP UB Ali Mashuri, S.Psi., M.Sc., Ph.D menuturkan, keragaman agama, budaya, etnis, dan geografi merupakan modal sekaligus tantangan untuk menciptakan toleransi di Indonesia.
“Adanya pengelompokan sosial dalam kategori kelompok sendiri versus kelompok orang lain (in group vs out group), yang ditambahi dengan sikap tidak suka atau tidak setuju menjadi pemicu lahirnya intoleransi. Selain itu adanya kelompok mayoritas versus minoritas juga menjadi masalah sendiri,” ungkap Ali.
Ali menambahkan, toleransi dari aspek kelompok dan sosial dapat dikuatkan melalui kurikulum pendidikan dan lingkungan sosial. Penguatan kurikulum seperti pendidikan multikulturalisme yang dilaksanakan pada semua tingkatan pendidikan. Sedangkan toleransi dari aspek lingkungan sosial dikuatkan dengan mendorong inklusivisme dalam bermasyarakat yang dimulai dari lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pendidikan yang menghargai perbedaan dan keragaman.
Toleransi juga dapat diupayakan untuk ditingkatkan melalui aspek kebijakan. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Dr. Akmal Malik Piliang., M.Si dalam kesempatan ini mengatakan, masa depan otonomi daerah memiliki tantangan di tengah potensi konflik di Indonesia. Akmal menjelaskan bahwa tantangan terkait kebijakan adalah regulasi yang belum sempurna atau interpretasi dalam menerjemahkan turunan aturan yang belum seragam oleh daerah, sehingga menyebabkan peraturan yang ada kerap mengalami kesulitan untuk dijalankan.
Selain itu, banyaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat dan daerah menjadikan Indonesia mengalami obesitas kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya dorongan dari berbagai kementerian dan departemen yang membuat kebijakan-kebijakan yang belum terpadu.
“Oleh karena itu, kami di Dirjen Otoda, berusaha melakukan pendampingan dan pembinaan kepada daerah agar menyeleraskan kebijakan daerah dengan kebijakan pusat,” tutupnya. (Meg)