Kanal24 – Sekitar 42 Km dari Titik Nol IKN Nusantara yang diresmikan pada 14 Maret 2022 membentang Sungai Sepaku. Lokasi Sungai Sepaku berada di Desa Sukareja, Kabupaten Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur dan merupakan salah satu pemasok air utama bagi IKN Nusantara selain Waduk Sepaku Semoi, Bendungan Batu Lepek, dan Bendungan Selamayu.
Usaha intake Sungai Sepaku yang dilakukan oleh pemerintah saat ini menambah kekhawatiran penduduk yang berlokasi di sekitar Sungai Sepaku. Hasil reportase Project Maltatuli (1/8/2022) menyebutkan bahwa usaha intake Sungai Sepaku menimbulkan permasalahan bagi penduduk mulai dari air bersih yang tidak terjangkau hingga hilangnya ruang hidup mereka.
Sebagian besar penduduk yang tinggal di Sungai Sepaku merupakan Suku Balik dan sisanya berasal dari Suku Bugis dan Jawa yang tinggal bersama serta menggantungkan hidupnya pada hutan, kebun, ladang dan Sungai Sepaku. Kehilangan lahan yang dirasakan penduduk sudah dimulai sejak pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan kepada perusahaan kayu di masa pemerintahan Soeharto tahun 1970-an yang menyebabkan menyusutnya lahan pertanian dan ladang penduduk.
Tanpa dokumen kepemilikan tanah dan lahan yang sah dimata hukum, masyarakat Suku Balik terpaksa merelakan lahan mereka untuk kegiatan perusahaan kayu. Bagi masyarakat Suku Balik, bukti kepemilikan lahan bukan berupa surat. Tanaman tumbuh, kuburan leluhur, dan beliung (semacam kapak) yang terpasang merupakan bukti kepemilikan lahan yang sah bagi Suku Balik.
Pakar Hukum Agraria Universitas Brawijaya (UB), Daru Adianto, S. H., M. T. mengungkapkan bahwa Indonesia pada prinsipnya adalah negara hukum sehingga landasan semua tindakan dan kebijakan berbasiskan kepada dokumen hukum yang legal walaupun dalam sisi agrarian ada pengecualian.
“Ada kekhususan dimana ada dokumen-dokumen non hukum atau yang belum bersifat resmi masih diakui keberadaannya.” tuturnya.
Daru Adianto, SH.,MT., Dosen Hukum Agraria FH UB (Capture Zoom Kanal24)
Menurut Daru, pemerintah belum menangani secara tuntas terkait skema pengakuan tentang hak dari masyakarat adat. Berdasarkan kasus yang terjadi pada masyarakat Suku Balik tersebut menurut Daru penyebabnya adalah sulitnya kelompok dalam mengakses legalitas. Daru berpendapat bahwa masyarakat adat sebaiknya diberikan kesempatan untuk menyampaikan dasar kepemilikan lahan yang sah menurut mereka dan pemerintah harus hadir untuk memberikan penjelasan terkait prespektif hukumnya.
Daru menjelaskan bahwa relasi masyakarat yang terbangun secara sosial-budaya dengan lingkungannya sebagai tempat dia beraktifitas dapat menjadi bukti atau dasar bagi sebuah klaim keberadaan eksistensi lahan mereka.
“Itulah yang coba ditawarkan kawan-kawan pegiat agraria, sehingga ketika sudah menyelesaikan pengakuan keberadaan mereka maka selanjutnya adalah perlindungan hak mereka. Makanya, terdapat kelompok agraria yang mendorong segera diadakan pembahasan rancangan Undang-undang masyarakat adat.” jelasnya.
Daru mengungkapkan bahwa adopsi hukum positif oleh Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh pandangan barat pasti memunculkan benturan-benturan yang berptensi menimbulkan permasalahan praktik, seperti yang dialami oleh Suku Balik. Oleh karena itu Daru mendorong pemerintah, masyarakat adat, dan pegiat agraria untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan hukum pada masyarakat adat.
“PR itu harus segera diselesaikan namun akselerasi di 10/15 tahun terakhir cukup baik tapi mungkin belum bisa menjawab dari permasalahan. Karena PR-nya cukup besar.”
Disinggung terkait strategi reclaim yang dilakukan masyarakat Suku Balik, Daru memandang bahwa strategi reclaim itu merupakan salah satu strategi advokasi dari lembaga ata kelompok yang banyak digunakan hanya sebagai penyeimbang power (kekuasaan).
“Reclaim, pendudukan dan lain sebagainya adalah sebuah strategi untuk menyeimbangkan kekuasaan agar proses negosiasinya lebih didengar.” jelasnya.
“Contoh nyatanya, kalau anak minta dibeliin sesuatu di tolak oleh orang tuanya, apa yang dilakukan anak untuk memperkuat tawarannya? Nangis, teriak, ngambek. Itu natural, jadi saya tidak menganggap itu baik atau buruk saya berusaha netral saja menganggap sebagai sebuah upaya natural manusia untuk menyeimbangkan posisinya antara power pihak satu dengan pihak lain.” imbuhnya.
Namun, terkait dengan pemanfaatan Sungai Sepaku, menurutnya sudah ada Undang-undang yang mengatur yaitu Undang-undang Sumber Daya Air yang di dalamnya telah diatur pemanfaatan dan keberadaan sungai serta hubungan antara sungai dengan masyarakat.
“Sehingga yang perlu kita kawal adalah bagaimana hak warga terhadap akses sungai untuk kebutuhan hidupnya itu terpenuhi. Entah buat mandi, irigasi, dan lain sebagainya, bahkan menangkap ikan, memperoleh penghasilan dari itu bersandar hidup apapun haknya.” terangnya.
Daru juga menyarankan untuk bekerjasama dengan anthropolog lokal dari kampus-kampus yang memiliki catatan-catatan yang cukup baik secara akademis guna menguatkan kajian hubungan masyarakat adat dengan lingkungan tempat meraka tinggal.
“Kepentingan orang yang tidak punya sejarah cukup kuat tiba-tiba muncul difasilitasi, tapi orang-orang yang benar-benar hidup tapi tidak bisa membuktikan (eksistensinya), diusir-usir. Jadi yang seringkali kita ingin melihat dan memilah yang benar-benar memiliki hak hidup disitu sehingga hak hidupnya termasuk hubungannya denngan sumber daya alam (hutan, air, tanah) itu benar-benar bisa difasilitasi oleh negara jangan sampai ada pihak lain yang menunggangi itu.” tegasnya. (din/sat)