Kanal24, Malang – Demo terhadap revisi UU Desa No.6 tahun 2014 mengundang animo masyarakat. Hal ini berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Jika ditinjau, perpanjangan kembali masa jabatan kepala desa memberikan dampak yang serius.
Ribuan kepala desa dari seluruh Indonesia melakukan demo di depan gedung DPR/MPR RI pada selasa, (17/1/2023). Mereka tergabung dalam aksi untuk menyampaikan Revisi UU Desa No.6 tahun 2014. Dalam hal ini kaitannya dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dengan maksimal 3 periode.
Hal yang menarik ialah DPR RI siap mengabulkan permintaan kepala desa akan hal ini. Tak seperti demo-demo lainnya, manuver DPR kompak untuk menindaklanjuti tuntutan yang ada tersebut. Tentunya hal ini memancing sorotan dari publik.
Menanggapi hal ini, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB), Ike Wanusmawatie, Dr. S.Sos, MAP memberikan pandangannya. Menurutnya, kondisi politik lah yang paling mempengaruhi terjadinya hal tersebut. “Aspirasi tersebut akan efektif tersalurkan di saat masa politik jelang pemilu,” tuturnya.
Ike mengatakan bahwa aspirasi tersebut, harapannya, akan direspon dengan cepat oleh berbagai partai politik termasuk calon-calon presiden nantinya. Ia juga menjelaskan bahwa hal ini merupakan endapan permasalahan lama yang dialami oleh pemerintah desa. Permasalahan ini telah terendap dan sekarang memuncak karena jika dibandingkan dengan level pemerintahan lainnya.
“Pemerintahan desa adalah pemerintahan yang paling beda,” tuturnya. Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 18 menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia terdiri dari 2 jenjang atau 2 level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, yaitu dalam hal ini, pemerintah nasional, dan pemerintahan daerah yang terbagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Sementara, pemerintahan desa tidak disebutkan dalam UUD tersebut.
Sementara itu, pemerintahan desa masuk dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa yang menyampaikan bahwa desa memiliki otonomi. Namun, otonomi yang dimaksudkan berdasarkan adat-istiadat, bukan berdasarkan desentralisasi.
“Otonomi desa atau otonomi daerah formal akan memberikan dampak keleluasan untuk melaksanakan urusan-urusan yang lain layaknya otonomi daerah yang mendapatkan desentralisasi dari pemerintah pusat,” jelas Ike.
Tak hanya itu, status kepegawaian dari perangkat desa bukan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau lainnya, namun pemerintahan desa juga melaksanakan fungsi pelayanan, pemerintahan, dan pembangunan layaknya unit-unit pemerintah di atas.
“Jadi tidak salah kalau kemudian para perangkat desa rame-rame sekarang kan ajang politik ya menyampaikan keluh kesah termasuk mungkin yang paling muncul di permukaan adalah periodisasi karena ini berkaitan dengan pimpinannya,” terang dosen sekaligus Ketua Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan (LPTP) ini.
Ike Wanusmawatie menyampaikan bahwa demo tuntutan masa jabatan kepala desa atau pimpinan perangkat desa yang dilakukan tidak salah karena saat ini menjelang Pemilu 2024 atau sedang dalam ajang politik.
“Harapannya kalau pimpinannya goal ke bawahnya nanti yang lain-lain itu. Misalnya perangkat desanya, kalau nggak salah kemarin itu kan menyatakan seperti kalau masa periode jabatan kepala desanya goal, harapannya setelah itu status perangkat desanya,” tuturnya.
Jika dilihat menggunakan pendekatan hukum, Ia menjelaskan hal ini terkait dengan status dan kedudukan pemerintah desa. Pada saat ini, pemerintah desa meminta perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun dengan maksimal 3 periode.
Jika pemerintah desa harus mengacu pada produk hukum tertinggi (UUD 1945), masa jabatan haruslah 5 tahun dengan maksimal 2 periode. Hal ini selaras dengan masa jabatan pemimpin negara, provinsi, dan juga kabupaten kota.
Apabila dilihat dari sisi manajerial, pemerintah desa merupakan bagian dari pemerintah daerah. Hal ini berarti pemerintah desa menyelaraskan dengan apa yang dikerjakan dengan pemerintah daerah. “Misalnya berbicara tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) selama 5 tahun, tentu rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) juga harus 5 tahun,” tutur Ike.
Perpanjangan masa menjadi 9 tahun membuat kerancuan sisa 4 tahun yang ada. Pemerintahan desa harus menyusun dan memikirkan kembali sisa rencana pembangunan jangka menengah yang ada. “Kita harus berpikir logis dan mempertimbangkan manfaat,” jelas Ike. Menurutnya, hal ini juga akan menjadi beban bagi kepala desa untuk memikirkan lagi alokasi anggaran dan pemanfaatannya.
Ia juga menjelaskan dari pendekatan politik. Ike sangat menyayangkan jika semua masalah yang berkaitan dengan kinerja pemerintahan desa harus diselesaikan dengan pendekatan politik. “Kita harus memikirkan secara sehat bukan hanya aspirasi sesaat,” ujarnya.
Hal yang perlu dimaksimalkan bagi perangkat desa ialah kolaborasi bersama. Pemerintahan desa harus berjalan selaras dengan pemerintah daerah. “Untuk mengelola desa, tak bisa dilakukan dengan sendiri,” tuturnya. Perlu adanya keselarasan untuk mengelola secara bersama.
Tak hanya itu, perlu ada juga pihak ketiga seperti LSM, perguruan tinggi, media. Hal ini tentunya harus dimaksimalkan oleh semuanya. “Jangan hanya formalitas saja sehingga kesejahteraan rakyat masih dipertanyakan,” tutup Ike. (raf)