Malang, Kanal24 – Wacana penghapusan jabatan gubernur menyeruak ke masyarakat. Berbagai tanggapan hadir, baik yang pro maupun kontra. Isu penghapusan jabatan gubernur ini datang dari Muhaimin Iskandar, wakil ketua DPR RI.
Menanggapi hal tersebut Dr. Ike Wanusmawatie, Ketua Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan FIA UB. Ia mengatakan bahwa isu ini harus dikembalikan lagi kepada regulasi tertinggi di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945.
“Jika berbicara pada pemerintahan, dikembalikan lagi pada undang-undangnya. Yang utama ialah harus mengacu pada UUD 1945,” jelas Ike.
Ia mengatakan bahwa Pasal 18 UUD 1945 khususnya pada ayat 1-5 mengatur tentang pemerintah daerah. Pasal 18 UUD 1945 ini juga dijadikan dasar pembentukan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dan UU Pemilu. Setiap gubernur dan DPRD akan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum.
Dr. Ike Wanusmawatie, Ketua Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan FIA UB (Yordan/Newspoint)
Ike juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat juga bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945. Di dalam PP ini, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
“Jika wakil pemerintah pusat, berarti pemerintah provinsi dominan untuk dekonsentrasi,” tutur Ike. Hal ini berarti pemerintah provinsi hanya mereprentasikan pemerintah pusat. Gubernur bertugas membina, mengawasi, supervisi, dan memonitoring segala penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.
Akan tetapi, UUD 1945 memberikan ruang lebar kepada daerah provinsi sebagai daerah otonom. Tentunya, provinsi diperbolehkan melaksanakan urusan pemerintahan seluas-luasnya. ”Di satu sisi dekonsentrasi, di satu sisi harus menjalankan prinsip desentralisasi,” ungkapnya.
Menurutnya, jika ada wacana penunjukkan gubernur secara langsung, hal ini sebagai suatu yang sah-sah saja. Tentunya dikembalikan juga pada regulasinya. Akan tetapi, penghapusan jabatan gubernur tidak bisa dilakukan begitu saja.
“Ada UUD yang mengatur. Jika mau diubah, ya harus amandemen UUD-nya dahulu,” jelas dosen FIA UB ini.
Secara jenjang pemerintahan, gubernur bertugas sebagai wakil dari pemerintah pusat. Memang tetap ada berdasarkan UUD. tetapi mekanisme perolehannya dipilih/ditunjuk bisa disesuaikan. “Semuanya harus dikembalikan ke fungsinya dan regulasinya,” tuturnya.
Ike juga mengatakan bahwa suatu hal yang sah-sah saja jika berwacana di negara demokrasi. Sebuah isu itu ditindaklanjuti dengan memperhatikan dua hal, yaitu regulasi dan kemanfaatan. Tentunya bermuara pada kepentingan masyarakat.
Menurutnya peran gubernur untuk mensupervisi, menjalankan pembinaan, dan pengawasan kepada pemerintah daerah harus dimaksimalkan. Pemerintah provinsi bisa mengevaluasi pemerintah daerah. Sehingga pemerintah pusat tidak mendapatkan banyak laporan dari pemerintah daerah secara langsung.
“Hal ini tentunya mengurangi beban pemerintah pusat. Beban berkurang dengan adanya provinsi yang dipimpin gubernur. Pemerintah provinsi harus memaksimalkan tugas dari provinsi tersebut. Itu yang harus dimaksimalkan,” ujarnya. Ike juga menuturkan bahwa peran gubernur masih sangat penting dan patut dipertahankan.
Ike juga memberikan catatan bahwa jika ingin konsisten mensejahterakan masyarakat, politisi harus memperbaiki manajemen pemerintahan. “Jangan hanya sekedar kekuasaan untuk menduduki segala level di pemerintahan,” tegasnya.
Ia juga mengatakan bahwa UUD 1945 memberikan kebebasan pemerintah provinsi untuk melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan. Hal ini membuat kepala daerah akan memunculkan ide gagasan untuk menyelenggarakan urusan di daerahnya masing-masing.
Di sisi lain, PP No. 33 tahun 2018 memuat bahwa pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat yang melakukan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/kota. Permasalahannya menjadi tumpang tindih.
Ike menjelaskan bahwa penyelarasan akan regulasi ini harus dilakukan. “Ya harus dilakukan amandemen UUD 1945. Otonomi yang dimaksud ialah untuk pemerintah kabupaten/kota,” jelasnya. PP No. 33 tahun 2018 tidak dapat dimaksimalkan karena UUD 1945 mengisyaratkan pemilu untuk gubernur. Tentunya hal menghasilkan penyelenggaraan pemerintahan yang luas oleh gubernur, bermuara pada tumpang tindih pembangunan di daerah. (sdk/raf)