Kanal24 – Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk mengurangi emisi di sektor hutan dan penggunaan lahan, serta meningkatkan kemampuan untuk menyerap karbon atau Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink pada tahun 2030.
Agus Justianto, selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan bahwa tujuan implementasi kebijakan tersebut adalah untuk mencapai tingkat emisi gas rumah kaca yang kurang 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
“Dalam aksi mitigasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 tentunya memerlukan pendanaan. Kami telah memproyeksikan kebutuhan pendanaan sampai tahun 2030 adalah Rp204 triliun dengan alokasi melalui berbagai sumber pendanaan,” ujarnya dalam sosialisasi sub nasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 Provinsi Papua Barat yang dipantau di Jakarta (15/2/2023).
Agus menjelaskan bahwa terdapat beberapa sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendukung aksi mitigasi iklim Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, antara lain pasar karbon dalam negeri dan luar negeri, APBN, APBD, investasi swasta, hibah dalam negeri dan luar negeri, serta sumber pendanaan lainnya.
Tak hanya itu, terdapat pula pendanaan dari skema pembayaran berbasis hasil untuk REDD+ yang saat ini telah memberikan kompensasi melalui skema kerja sama internasional maupun sub-nasional.
“Sumber pendanaan dari swasta diarahkan pada instrumen hibah, obligasi hijau, pinjaman, ekuitas swasta maupun program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR,” kata Agus.
Kebijakan penurunan emisi karbon FOLU Net Sink 2030 didasarkan pada empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon.
Selain itu, Agus juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim saat ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia karena terus terjadi emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber, seperti industri, kebakaran hutan, transportasi, bahan bakar fosil, dan sebagainya.
Dampak dari perubahan iklim tersebut antara lain kenaikan suhu, anomali iklim, peningkatan tinggi permukaan air laut, bencana alam, hilangnya daratan, kelangkaan air, energi, dan pangan. Masalah-masalah ini tidak hanya terjadi di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga berdampak global.
Agus mengatakan bahwa Indonesia memerlukan fondasi yang kuat khususnya dalam upaya perlindungan lingkungan dan iklim, dan diperlukan dukungan serta kontribusi dari semua pihak lintas generasi, lintas disiplin, maupun lintas sektor.
“Harapannya secara kolektif kita bisa memberikan kontribusi termasuk Inovasi dan solusi di seluruh bidang kehutanan,” ungkapnya. (sat)