KANAL24, Malang – Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Brawijaya melakukan kajian terkait Penilaian Kebijakan Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Bukti. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menghasilkan penelitian kebijakan dan bukti (evidence) yang mengadvokasi masalah pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dengan hasil tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan di desa terkait konflik wewenang, disharmoni, dan kontradiksi pembangunan.
Kegiatan yang diketuai oleh Trisnawati, S.Sos., M.AP. ini melakukan FGD di 11 Provinsi di Indonesia untuk mengetahui kondisi dampak pembentukan peraturan perundang-undangan (regulatory impact) pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Permendesa PDTT No. 21/2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa yang diduga masih punya kekuatan/keberlakuan empiris, meskipun secara normatif peraturan kebijakan ini tidak berlaku karena adanya aturan perundang-undangan PP No. 43/2014.
Melalui press rilisnya LPPM memaparkan, berdasarkan hasil dari analisis hasil FGD yang menggunakan pendekatan Evidence-Based Policymaking (EBP) dan Regulatory Impact Assessment (RIA), diketahui bahwa pada kebijakan pembangunan desa masih terdapat perbedaan arah kebijakan yaitu belum ada desa yang menerapkan SDGs Desa yang termuat dalam Permendesa No. 21/2020. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti aplikasi SDGs Desa yang tidak bisa digunakan, adanya datakrasi antara SDGs Desa dengan pasrtisipasi warga dan kewenangan desa, serta adanya Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Miskin Biaya Di Masa Pandemi Covid-19.
Berdasarkan hasil dari analisis tersebut, tim LPPM UB meberikan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong ketepatan pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk desa. Pertama kebijakan perubahan hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa memerlukan sistem pembentukan hukum yang legitim, dimana selama ini dalam menyusun aturan hukum hanya berdasar pertimbangan normatif. Hal ini mengakibatkan aturan hukum menimbulkan multi tafsir di lapangan.
Fenomena ini juga ditemukan ketika kementerian/lembaga sektoral lain membentuk aturan hukum yang memberikan penugasan kepada Desa. Kedua memberikan forum dialog dan choacing clinic untuk memberikan asistensi pada dokumen perencanaan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa, yang terhubung dengan program-program sektoral yang masuk ke Desa. (sdk)