Kanal24, Malang – Pada Seminar Ikatan Alumni (IKA) Universitas Brawijaya (UB) yang bertemakan “Peluang dan Tantangan Sawit sebagai Industri Strategis Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi” pada hari Kamis (10/08/2023) di Auditorium Gedung F Lantai 7 Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) UB. Eddy Martono (Ketua Umum Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) yang menyampaikan materi bertemakan “Tantangan Sawit sebagai Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi”
“Jadi sebenarnya kalau sawit tidak lancar maka yang terkena dampaknya pertama adalah petani,” kata Eddy Martono.
Eddy membeberkan alasan yang terkena dampaknya untuk pertama kali adalah petani karena jika perusahaan, sejak tahun 2011 sudah mau atrium. Kemudian tahun 2019 itu sudah total moratorium. Tetapi, petani masih boleh menanam. Oleh karena itu, petani yang akan terkena dampaknya terlebih dahulu.
Namun, bukan berarti perusahaan tidak terkena dampaknya. Hal tersebut dikarenakan petani tidak bisa mengirim buahnya ke perusahaan. Hal tersebut nanti akan menjadi si pengapalan tersebut tidak boleh masuk. Apabila petani tidak bisa menyuplai ke perusahaan, maka yang terjadi adalah masalah sosial di sekitar kebun. Jika biasanya bisa memanen dan mengirim uang kepada perusahaan dengan adanya itu maka akan ditolak dan akan menjadi masalah atau konflik sosial baru di sekitar.
Eddy menyampaikan bahwa saat ini pihaknya telah dibicarakan dengan pemerintah untuk mencari pasar-pasar non tradisional seperti China, Eropa, India, dan beberapa negara lain. Namun, di samping itu, yang pasar-pasar konvensional atau tradisional seperti China dan India itu akan ditingkatkan karena masih potensial. Seperti China dan India itu, Eddy meyakini bisa karena dulu di China pernah tembus di angka 8 juta dan ia yakin bisa di atas 8 juta.
“Saat ini, yang kita kejar adalah peningkatan produktivitas. Yang kedua adalah produk hilir,” ujar Eddy Martono.
Eddy menerangkan bahwa untuk lahan sawit untuk perusahaan otomatis telah stop karena tidak ada ekspansi. Namun, yang dikejar saat ini adalah peningkatan produktivitas. Selain itu, produk hilir. Saat ini, untuk berbagai produk hilir memang sudah ada ekspor dari Indonesia dalam bentuk olahan. Tetapi, belum sampai benar-benar pada produk. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan investor baru atau investor yang sudah ada. Kemudian nanti regulasinya supaya investor tertarik untuk sampai produk akhir.
Eddy Martono juga menambahkan bahwa sawit telah banyak digunakan untuk pangan baik untuk margarin hingga minyak goreng yang paling utama. Oleh karena itu, jika terjadi kekurangan seperti yang terjadi pada tahun 2022 itu sudah menjadi gejolak di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, hal tersebut disebut sebagai ketahanan pahan. Karena minyak goreng sendiri termasuk dari sembilan bahan pokok (sembako). Kemudian, tekanan energi seperti harga solar yang meninggi, itu yang mensubstitusi adalah sawit dengan biodiesel, meskipun pada saat itu 30 persen dan sekarang sudah mencapai 35 persen.
Dengan demikian juga bisa mengurangi impor dari solar. Sehingga, devisa negara tidak terbuang keluar untuk energi. Sedangkan, sawit ini sudah bisa dipakai untuk avtur atau aviation turbine fuel.
Eddy mengatakan bahwa saat ini sudah jelas dengan biodiesel bahwa itu sudah moneter 35 persen. Namun, yang belum dipersiapkan adalah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurutnya, PLTU dari cangkang sawit tersebut sekarang masih menggunakan batubara karena memang produksi batubara melimpah serta harga juga masih autentik atau sedikit mahal.
“Nah, nanti yang harus diperhitungkan kalau batubara habis. Kalau ini kan renew energi, bisa diproduksi terus. Sehingga, menurut saya, langkah kedepannya yang perlu dipikirkan adalah PLTU untuk menggunakan cangkang sawit maupun limbah sawit karena limbah sawit bisa dijadikan etanol untuk bensin,” pungkas Eddy. (nid)