Kanal24, Malang – Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengenai pelanggaran kode etik dalam penanganan uji materi 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), menuai berbagai respon. Salah satunya dari ahli hukum tata negara Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.
Dalam sebuah wawancara dengan tim Kanal24, Dr. Aan memberikan pandangan dan refleksi kritis terhadap putusan tersebut (8/11/2023).
Menurut Dr. Aan, keputusan MKMK memperluas konsep conflict of interest, tidak hanya pada pihak yang terlibat dalam perkara, tetapi juga pada hubungan yang akan muncul sebagai konsekuensi dari putusan.
Disamping itu, Dr. Aan menyoroti substansi putusan ini yang hanya berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dan bukan Undang-Undang MK. Hal ini menimbulkan kebingungan terkait pasal 14 dalam PMK, yang tidak jelas terkait pemberhentian kepada siapa tepatnya.
“Tidak jelas di situ dalam PMK, kepada hakim atau kepada ketua, misalnya yang menjabat. Tapi kalau dengan undang-undang MK itu jelas bahwa kepada anggota, artinya kepada hakim. Nah, inilah yang kemudian menurut saya agak mis di dalam putusan MKMK tentang sanksi yang dijatuhkan. Ini yang saya lihat cukup memberatkan,”ungkapnya.
Baca Juga : Menilai Gugatan Batas Usia Capres dan Cawapres di MK
Dekan Fakultas Hukum UB ini kemudian menyoroti aspek pertimbangan moral dalam putusan ini, khususnya terkait Anwar Usman yang dilarang terlibat dalam sejumlah kasus yang memiliki potensi konflik kepentingan. Dr. Aan merasa bahwa dasar putusan seharusnya berakar pada Undang-Undang MK, yang menegaskan bahwa yang diberhentikan adalah anggota MK, bukan hanya berdasarkan PMK yang belum spesifik terkait pemberhentian yang tepat.
Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, ia juga menyampaikan kekhawatiran terhadap ketidakkonsistenan putusan MKMK dan menekankan bahwa penetapan hukum harus mengikuti dasar hukum yang jelas dan tegas, dan tidak boleh membuat keputusan yang melampaui kewenangan hukum yang ada.
Dalam menghadapi isu ini, Dr. Aan menegaskan pentingnya melihat MK sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab moral yang tinggi. Ketidakpastian dan keraguan publik terhadap objektivitas dan integritas MK sebagai lembaga peradilan konstitusi adalah sesuatu yang perlu ditinjau secara mendalam. Dr. Aan juga menyoroti perlunya MK menjadi teladan moral, menjunjung tinggi keadilan, etika, dan kepercayaan publik.
Putusan MKMK bukan hanya sekadar persoalan hukum semata, tetapi juga menyangkut kewibawaan, integritas, dan kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Dalam memandang masa depan MK, penting bagi lembaga ini untuk menjaga nilai-nilai moralitas yang tinggi, memastikan ketegasan hukum berdasarkan dasar yang jelas, dan memperbaiki citra lembaga di mata publik sebagai pelindung keadilan.(din)