Oleh : Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu fenomena unik dan menarik di saat bulan Ramadan di masyarakat Indonesia adalah banyaknya para penjual takjil pada saat menjelang berbuka puasa, sehingga jalanan ramai dengan para penjual takjil dadakan yang menjajakan menu takjil dengan aneka makanan berbuka. Bahkan maraknya para penjual takjil ini tidak hanya dinikmati oleh kaum muslimin yang sedang ngabuburit menjelang berbuka, melainkan juga dinikmati serta diburu pula oleh saudara-saudara kita non muslim. Hingga belakangan muncul ungkapan “bagimu agamamu, bagiku takjilmu”. Hal ini karena umat non muslim juga ikut berburu takjil jelang berbuka, menambah kemeriahan ngabuburit di bulan Ramadhan.
Menariknya pula, para penjual takjil ini tidak hanya sekedar dilakukan oleh UMKM yang selama ini berjualan produk kuliner, melainkan para penjualnya banyak dilakukan oleh anak-anak muda yang sedang mencoba mengambil kemeriahan ngabuburit jelang berbuka, sehingga fenomena yang terjadi adalah saat menjelang berbuka banyak anak-anak muda ramai di jalanan untuk berburu belanja takjil. Sementara masjid-masjid yang menyediakan menu takjil gratis banyak diramaikan oleh anak-anak kecil dan sebagian orang tua. Atau setidaknya kajian jelang berbuka yang diadakan di masjid-masjid yang dihadiri oleh anak muda, tidaklah seramai dengan jalanan yang dipenuhi oleh anak muda yang sedang belanja berburu takjil. Suatu hal yang ironis.
Fenomena ini mungkin memang telah menjadi suatu kekayaan hazanah lokal nusantara di setiap Ramadhan tiba. Namun satu hal yang patut untuk dikritisi dan menjadi sesuatu yang akhirnya salah kaprah adalah bahwa takjil atau menyiapkan menu takjil yang pada awalnya adalah disunnahkan oleh Nabi dengan bahasa ifthar, atau menyediakan menu berbuka kepada kaum muslimin yang sedang berpuasa secara gratis sebagai sedekah untuk membahagiakan mereka saat berbuka, kemudian beralih menjadi sesuatu yang diperdagangkan, diperjual belikan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan materi.
Kata takjil yang diartikan sebagai penganan atau makanan menjelang berbuka. Sebenarnya secara bahasa, kata ini tidaklah tepat. Kata takjil berasal dari kata bahasa Arab, ajjala–yu’ajjilu–ta’jilan yang artinya mensegerakan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini, kata takjil yang dimaksud adalah menyegerakan diri untuk berbuka puasa. Namun hari ini kemudian telah menjadi bagian daripada tradisi untuk menyiapkan menu berbuka di masjid-masjid dengan istilah takjil. Sementara bahasa yang lebih tepat sesuai dengan hadis nabi adalah ifthar, yang artinya berbuka puasa. Berasal dari kata Afthara – yufthiru – iftharan yang artinya memberi makanan buka puasa.
Namun masalahnya bukan pada persoalan semata istilah, melainkan fenomena berjualan menu takjil yang terjadi pada hh setiap jelang berbuka di bulan Ramadan. Karena nilai kesunahan yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah menyediakan menu berbuka sebagai sedekah. Sebagaimana hadits nabi saw :
مَنْ فَطَّرَ فِـيْهِ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ، فَقَالَ : يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَن فَطَّرَ صَائِماً عَلىَ تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مذَقَّةِ لَبَنٍ
Siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka. Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikitpun. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami tidak semua memiliki makanan untuk berbuka bagi orang lain”. Bersabda Rasulullah ﷺ: “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu”. (HR. Ibnu khuzaimah, Al Baihaqy).
Konsep utama yang sesungguhnya adalah memberi makan berbuka, bukan berjualan menu berbuka (takjil). Inilah konsep yang seharusnya dikembalikan pada realitas yaitu menyediakan menu berbuka (ifthar) secara gratis untuk berkhidmah membahagiakan setiap orang yang berbuka puasa. Inilah yang harusnya dibudayakan oleh kaum muslimin. Hal inilah yang kita bisa melihat budaya memberi ifthar yang luar biasa pada masyarakat muslim di timur tengah terlebih di tanah haram, makkah madinah terhadap para jamaah di kedua masjid suci tersebut.
Semangat memberi ini pulalah yang kemudian menyebar keseluruh dunia termasuk pada muslim nusantara melalui berbagai masjid saat menjelang berbuka. Kaum muslimin berharap dengan memberikan menu berbuka (takjil atau ifthar) mendapatkan pahala sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi diatas.
Namun sebaliknya, bagaimana mungkin seseorang akan mendapatkan pahala besar sebagaimana dalam hadits Nabi saw diatas jika yang dilakukannya bukan dimaksudkan untuk sedekah ?, melainkan untuk mendapatkan keuntungan materi maka tentu hal demikian akan jauh dari apa yang disebutkan sebagaimana dalam hadits nabi saw tersebut.
Namun demikian, Kalaupun harus tetap jualan takjil maka beberapa hal berikut perlu mendapatkan perhatian agar tetap dapat menjadi keberkahan, antara lain :
✔️ Niatkan untuk memudahkan berbuka bagi orang-orang yang berpuasa.
✔️ Niatkan pada saat memasaknya agar setiap orang yang membeli Dan menikmatinya mendapatkan hidayah petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala.
✔️ Jual murah dengan niat sedekah.
✔️ Niatkan untuk syiar agama Allah, karena tidak sedikit di antara mereka yang menikmatinya juga dari kalangan non Islam dan semoga dengan mereka membeli menjadi Jalan Hidayah.
✔️ Dapat pula diberi beberapa persyaratan, misal gratis bagi para penghafal Alquran atau gratis jika bersedia membaca Alquran.
Alangkah indahnya jika budaya berjualan takjil masa masa yang akan datang dapat berubah menjadi berbagi takjil gratis kepada siapa saja yang berbuka puasa dan mungkin pula bisa menjadi Month of Giving terbesar di dunia. In syaa Allah….(ams)
*) Akhmad Muwafik Saleh, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Pengasuh Ponpes Mahasiswa Tanwir al Afkar Malang