Kanal24, Malang – Pemerintah, pelaku usaha, dan sektor perbankan sepakat bahwa perekonomian Indonesia berpotensi mengalami tekanan, terutama di tengah meningkatnya tren suku bunga acuan bank sentral di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia (BI).
Pada bulan April 2024, Bank Indonesia mengumumkan kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25%. Langkah ini diambil untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan potensi kenaikan inflasi, yang dipicu oleh kebijakan suku bunga ketat dari bank sentral Amerika Serikat (AS) dan konflik di Timur Tengah.
“Situasi global yang cenderung melemah dan tekanan yang bertubi dari harga komoditas, inflasi, dan suku bunga tentu akan mempengaruhi kinerja seluruh dunia,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan kondisi APBN Kuartal I-2024, dikutip Senin (29/4/2024).
Saat membahas kondisi APBN pada kuartal I-2024, Sri Mulyani menyoroti penurunan pendapatan negara sebesar 4,1% menjadi Rp 620,01 triliun. Ia juga menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap kemungkinan gangguan lebih lanjut dalam rantai pasok, terutama pada sektor minyak dan gas.
Sementara itu, Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, dikutip dari CNBC menyoroti potensi tekanan ekonomi yang dihadapi Indonesia setelah kenaikan BI Rate. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan signifikan menekan aktivitas sektor riil karena biaya pinjaman yang lebih tinggi.
“Menaikkan tingkat suku bunga dampaknya yang besar itu lebih signifikan ke sektor riil, yaitu menahan laju penyaluran kredit, pembiayaan jadi lebih mahal, menekan sektor keuangan juga,” tuturnya.
Faisal juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan BI Rate yang ditujukan untuk mengendalikan pelemahan rupiah dan mengantisipasi potensi inflasi tinggi dapat semakin menekan aktivitas ekonomi domestik.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Maret 2024, sebulan sebelum Lebaran tahun ini, mencapai 123,8, naik hanya 0,7 poin dari bulan sebelumnya. Angka ini masih lebih rendah dibanding periode pra-Lebaran 2018 yang mencapai 125,1, menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia belum optimal.(din)