Kanal24, Malang – Ketua Umum Ikatan Produsen Benih Hortikultura (IPBH), Ir. Moh. Aris, M.P., mengungkapkan sejumlah poin penting terkait perkembangan industri benih hortikultura nasional dalam Seminar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat pada Rabu (20/11/2024) di UB. Ia menyoroti potensi besar Indonesia dalam pengembangan benih hortikultura sekaligus tantangan yang dihadapi, terutama terkait kebijakan pemerintah dan keberlanjutan riset.
Aris mengingatkan pentingnya kemandirian daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam memproduksi benih sendiri. “Jualan benih ke NTT atau NTB itu ya menjanjikan, tapi saya kasihan. Seharusnya mereka bisa memproduksi untuk kebutuhan sendiri,” ujarnya. Ia mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk berkolaborasi membangun ekosistem yang mendukung kemandirian tersebut.
Dalam kilas balik sejarah, Aris menyebut bahwa sekitar dua dekade lalu, industri benih hortikultura nasional berada dalam “masa kegelapan.” Kala itu, sekitar 75% pasar benih hortikultura Indonesia dikuasai oleh perusahaan modal asing (PMA). Namun, dengan dorongan sejumlah pihak, lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 yang membatasi kepemilikan asing di sektor hortikultura hingga maksimal 30%.
“Walaupun undang-undang itu sering tidak dijalankan dengan serius, efeknya tetap positif. Beberapa produsen asing mundur, dan ini memberi ruang bagi produsen nasional untuk bangkit,” jelasnya. Saat ini, jumlah perusahaan lokal yang tergabung dalam IPBH meningkat dari 16 menjadi 84 perusahaan. Berdasarkan data Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura (DP2PH), sekitar 80% benih hortikultura yang dilepas kini dikuasai oleh produsen nasional, kebalikan dari kondisi 20 tahun lalu.
Aris menegaskan bahwa riset adalah “jantung” industri benih hortikultura. Tanpa riset dan inovasi, keberlanjutan industri akan terancam. Ia menyayangkan masih adanya hasil riset dari perguruan tinggi yang tidak relevan dengan kebutuhan petani.
“Kualitas benih yang dilepas belum tentu bisa dipakai oleh petani. Ini karena kurangnya sinkronisasi antara riset kampus dan kebutuhan di lapangan,” tegasnya. Ia berharap kampus seperti Universitas Brawijaya lebih fokus menghasilkan varietas yang benar-benar sesuai dengan tantangan di lapangan.
Aris juga mengkritik tata kelola anggaran di sektor pertanian yang sering kali tidak sejalan dengan hasil riset. “Dalam era otonomi daerah, alokasi anggaran sering tidak sinkron dengan kebutuhan riset. Ini menjadi tantangan besar dalam membangun kelompok tani yang tangguh,” paparnya.
Ke depan, IPBH akan terus mendorong kolaborasi dengan pemerintah, DPR, dan perguruan tinggi untuk mengatasi hambatan ini. “Kami siap bekerjasama untuk memajukan industri benih hortikultura nasional. Kalau tidak, kita hanya akan berhenti di tempat,” pungkasnya.
Dengan peluang besar yang ada, industri benih hortikultura Indonesia menunjukkan prospek yang cerah. Namun, sinergi yang kuat antara pemerintah, akademisi, dan produsen diperlukan untuk mewujudkan kemandirian dan daya saing di pasar global. (nid/una)