Bahasa menunjukkan bangsa demikianlah peribahasa yang sering kita dengar. Mengandung arti bahwa karakteristik suatu budaya bangsa atau seseorang dapat dilihat dari bagaimana mereka menggunakan atau mengkonstruksi bahasa. Demikian pula bahasa dapat mengkonstruksi realitas sebagaimana yang diinginkan, melalui penggunaan term-term atau istilah-istilah bahasa tertentu untuk memberikan kesan dan penilaian tertentu pula sebagaimana yang diharapkan dan dimaksudkan.
Bahasa juga adalah kekuasaan. Artinya siapa yang berkuasa maka mereka leluasa mempergunakan bahasa, istilah atau term tertentu kemudian mendefinisikannya sesuai kepentingan mereka. Demikian pula, siapa yang ingin meneguhkan dan mempertahankan kekuasaan maka mereka menggunakan bahasa untuk menjustifikasi berbagai kepentingan yang menjadi tujuannya melalui “perang terminologi” sehingga dengan mudah mempersuasi publik agar tunduk dan mengikuti kemauan penguasa karena mereka dianggap memiliki otoritas dan bisa menggunakan semua potensi yang ada di bawah otoritasnya untuk melakukan justifitasi terminologis sebagaimana yang dimaksudkan untuk terwujudnya kepentingan penguasa.
Demikian pula yang dilakukan oleh para penjajah pada masa itu, untuk meneguhkan kekuasaannya di negeri jajahan, mereka menggunakan bahasa atau labelling sesuai dengan yang diinginkannya, baik dalam rangka untuk memberikan apresiasi kepada siapa saja yang berpihak pada penguasa, ataupun kepada mereka yang berlawanan dengan penguasa.
Bagi mereka yang mendukung penguasa, tentu akan dikonstruksi secara positif dengan mempergunakan terminologi bahasa yang bernada positif pula. Sementara bagi mereka yang berlawanan dengan kepentingan penguasa atau penjajah saat itu, maka akan di konstruksi dalam benak publik dengan kesan (image) yang negatif dan dengan menggunakan terminologi bahasa yang negatif bahkan menakutkan (demonologisasi), agar publik masyarakat luas membenci dan menjauhi, sehingga para penguasa atau penjajah akan lebih mudah melemahkan dan menumpasnya.
Bahasa adalah cara paling efektif untuk menekan psikologis lawan sekaligus melemahkan idealisme perjuangan serta cara paling efektif untuk membunuh pelan-pelan karakter seseorang (character assasssination) sehingga tidak lagi memiliki semangat untuk melakukan perlawanan.
Penggunaan bahasa yang negatif dapat dijadikan senjata untuk melemahkan moral psychologis para pejuang dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilam sehingga memudahkan para penjajah untuk melemahkan perlawanan sekaligus penguasaan pikiran publik. Sehingga dipergunakanlah istilah-istilah tertentu untuk membangun image negatif secara serampangan tanpa proses kajian akademis yang tepat dan akurat. Seperti beberapa istilah berikut : ekstrimis, radikal, teroris, intoleran, pemberontak dan lain sebagainya.
Padahal dalam pengertian akademis, beberapa istilah yang dituduhkan tersebut memiliki terminologi yang bahkan bisa bermakna positif. Sebagaimana dalam The Concise Oxford Dictionary (1987), kata radikal berasal dari bahasa Latin “Radix, Radicis” yang berarti akar, sumber, atau asal mula. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Radikalisme” didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Bahkan bisa pula bahwa radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan. Radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis.
Menurut Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem”. ekstrimis cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan mereka.
Demikian pula dengan pengunaan istilah teroris. Menurut UU Nomor 15 Tahun 2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.
Namun anehnya, penggunaan istilah-istilah tersebut diatas saat ini dipakai secara serampangan untuk memberikan label negatif terhadap siapa saja yang dianggap berlawanan dan berbeda secara ide dan pemikiran terhadap kebijakan penguasa yang mereka tidak dengan cara melakukan kekerasan fisik, namun tetaplah istilah tersebut digunakan untuk memberikan kesan negatif dan kebencian secara massif dari publik atas kelompok yang berseberangan dan berbeda pemikiran tersebut. Menjadi semakin aneh manakala kelompok yang dekat dengan penguasa dibiarkan tanpa tindakan dan labelling sekalipun melakukan tindakan yang jelas memenuhi kriteria terminologis. Maka tentulah, tindakan ini merupakan sebuah kedhaliman yang nyata karena telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara benar.
Manusia merdeka adalah mereka yang mampu bertindak bijaksana tanpa merendahkan manusia lainnya sekalipun dengan mereka yang berbeda dengan diri dan kelompoknya. Untuk itulah, berhati-hatilah dalam menggunakan sebuah istilah tertentu agar jangan sampai mendhalimi sesama saudara muslim yang dapat menjadikan rendahnya martabat dengan mengikuti irama genderang yang sedang dimainkan oleh musuh islam untuk mengadu domba sesama kaum muslimin dan melemahkannya serta merendahkan kemuliaan islam. Rasulullah melarang dengan keras perbuatan yang merendahkan martabat kaum muslimin dengan sabdanya :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
Semoga Allah swt selalu menjaga agamaNya agar tetap jaya dan mulia. Semoga kita tetap berada dalam lindunganNya untuk terus dapat berjuang dengan istiqomah di jalan yang diridhoi-Nya. Aamiiinnn…..
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar