Hidup di dunia sejatinya adalah untuk melakukan serangkaian ibadah atau serangkaian aktivitas kebaikan yang dapat mengantarkan seseorang pada derajat yang terbaik (the best). Hidup adalah kompetisi yaitu untuk menunjukkan siapa yang terbaik diantara mereka. Sebab hanya mereka yang terbaiklah sajalah yang akan bertahan dan memperoleh penghargaan di dunia dan akhirat (Fiddunya Hasanah wa fil akhiroti Hasanah).
Jiwa kompetisi adalah fitrah kemanusiaan, yang ditanamkan sejak awal manusia dicipta telah menunjukkan jiwa kompetisi ini. Perhatikan di saat awal penciptaan mnnusua, malaikat menunjukkan keraguannya atas manusia kepada Allah, walaupun kemudian Allah menjawab keraguan malaikat dengan diberikan-nya potensi agar manusia mampu mewujudkan keraguan malaikat itu melalui prestasi karya terbaik. Demikian pula di saat awal mula pertama manusia dicipta selagi dalam bentuk air saripati yang menjijikan, sebelum menuju rahim, melalui proses kompetisi yang sangat ketat dan mematikan, dari 250 juta sel sperma lainnya dan akhirnya yang mampu bertahan hanyalah satu, yaitu yang dapat menempel pada dinding rahim, dengan mengalahkan jutaan sel sperma lainnya. Selanjutnya kemudian, dia harus pula bertahan hingga 3 bulan pertama bahkan 9 bulan selanjutnya. Seluruh proses yang dilaluinya ini adalah mengandung proses kompetisi.
Kompetisi adalah untuk memastikan bahwa seseorang itu layak untuk hidup. Kompetisi diperuntukkan hanya bagi mereka yang mampu menampilkan proses terbaik, sehingga menghasilkan yang terbaik pula. Tanpa kompetisi, mungkin seseorang akan melakukan tindakan yang asal-asalan, tanpa sebuah target pencapaian. Namun dengan kompetisi, seseorang akhirnya mencoba merencanakan suatu pencapaian, merancang mimpi untuk menjadi yang terbaik melalui tindakan-tindakan terbaik.
Di sinilah Allah mengatakan fastabiqul Khairat, berlomba-lombalah di dalam melaksanakan dan mewujudkan kebaikan, karena menjalani kebaikan sekalipun tidak menghasilkan prestasi juara, maka hal itu telah menjadi kebaikan. Namun untuk menjadi juara, tentu memerlukan sikap terencana. Yang dimulai dari kekuatan niat. Niat adalah langkah awal sekaligus gambaran akhir yang ingin diraih.
Dengan sebuah niat, maka suatu tindakan akan bernilai dan memberikan kekuatan atas seseorang untuk menggerakkan langkah menuju gambaran cita yang harapkan. Niat adalah separuh dari impian, dengan niat akan mengarahkan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan. Niat yang sungguh-sungguh akan memproduksi energi internal untuk memudahkan harapan-harapan itu terwujud. Demikian pula niat yang kuat akan merasa Nancy pada orang lain untuk turut membantu mewujudkan apa yang dicitakannya.
Niat itu ibarat mimpi yang membingkai aktivitas sehingga menjadi lebih bermakna dan mengarahkan sesuatu menjadi terwujud serta menjadikan sesuatu yang sulit akan dapat teratasi dengan mudah. Sementara tanpa niat maka suatu realitas atau tindakan yang pada awalnya tampak sangat mudah akan menjadi sulit karena tidak ada dorongan untuk mewujudkan nya
Perhatikan sekalipun seseorang sama-sama tidak makan seharian namun yang satu dibumbui dengan niat sementara yang lain tidak dihadirkan niat untuk puasa maka Sudahlah pasti mereka yang memberikan sentuhan Niat akan lebih kuat dalam menjalani hari-harinya dibandingkan dengan mereka yang tidak meniatkan diri untuk berpuas.
Inilah Rahasianya niat walau hanya sekedar berupa formulasi dalam benar maka apa yang tergambarkan dalam pikiran akan dengan mudah terwujud melalui tindakan tindakan konkret terarah.
Niat atau mimpi yang kuat dan utuh akan mengarahkan dan mewujudkan sebuah cita dengan utuh pula namun jika ada sedikit keraguan maka kita yang diharapkan juga tidak akan utuh terwujud karena apa yang kita pikirkan itulah yang akan kita wujudkan sebab kita akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan.
Oleh karena itulah para penyusun kitab kitab Hadits meletakkan hadits tentang niat pada awal pembuka Karena dengan demikian akan mengarahkan tindakan selanjutnya sebagaimana disebutkan dalam hadis nabi :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR. Bukhari. No. 1)
Oleh karena itu jika kita ingin memenangkan sebuah kompetisi kebaikan maka kuatkan niat maksimalkan ikhtiar dan lipatgandakan ketawakalan insya Allah dengan izin Allah apa yang kita yakini akan dengan mudah terwujud.
Semoga semua Harapan cita-cita dan impian kita dikabulkan oleh Allah dan semoga langkah-langkah kita selalu dibimbing oleh dalam meraih Ridhonya. Aamin….
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afka