Amanah kemerdekaan sesungguhnya adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur di dalam sebuah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dan berkeadaban. Sehingga disusunlah sebuah konsep kebangsaan dan kebernegaraan yang berlandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan sebagai jiwa dari seluruh aktifitas bernegara.
Konsekwensi dari sila ketuhanan dalam dasar bernegara adalah memastikan bahwa seluruh sistem dan konsep yang dijadikan landasan pengelolaan haruslah mampu mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan itu. Ciri dan karakteristik nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kemampuannya memadukan nilai-nilai kemuliaan sifat-sifat ketuhanan dalam realitas kemanusiaan, membumikan nilai-nilai ketuhanan. Dengan sebuah konsekwensi yaitu mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam semua sistem pengelolaan kebangsaan dan kebernegaraan serta berupaya agar tidak menjauhkannya terlebih memisahkannya. Sehingga memisahkan nilai ketuhanan dari kehidupan merupakan salah satu bentuk pengkhianatan atas dasar negara.
Pemisahan nilai-nilai ketuhanan dari pengelolaan sistem kenegaraan (fashlud diin ‘anil hayah) inilah yang disebut dengan sekularisme, dan sekularisme inilah yang menjadi akar liberalisme. Apabila sekularisme diterapkan dalam sistem kenegaraan akan berkonsekwensi pada reduksi dan diskriminasi syariat dalam aturan kenegaraan berupa kecurigaan yang berlebihan dianggap melakukan makar untuk merubah dasar negara. Cara berpikir seperti ini tentu adalah sebuah kesalahan pemahaman sebab mereka tidak memahami konsepsi atas konsekwensi dari sila pertama dalam pancasila.
Sekularisme dalam konteks pelaksanaan hukum akan melahirkan kebijakan yang double standart, sehingga melahirkan ketidakadilan yang dibangun atas keberpihakan berdasarkan kepentingan kelompok dan golongan yang dengan mudah memberikan labelling negatif kepada kelompok yang tidak disukai dengan sebutan radikal, intoleran, anti NKRI, anti kebhinnekaan, anti Pancasila dan sebagainya.
Sementara mereka sengaja mendiamkan segala tindakan yang jelas-jelas anti NKRI ataupun anti Pancasila sekalipun tampak dengan terang benderang ditampilkan di hadapannya. Sehingga keadilan hukum seakan hanya menjadi milik mereka yang berkuasa karena hukum hanya tajam ke bawah sementara tumpul ke atas. Tentu hal ini sangat jauh dari semangat pancasila yang ingin menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di bidang sistem pendidikan, sekularisme menjadikan konsep kurikulum yang dikembangkan menjauhkan para peserta dari akhlaq yang mulia. Karena sekularisme yang memiliki konsep pemisahan nilai ketuhanan dari kehidupan, menganggap bahwa proses pembelajaran adalah usaha rasional dengan mengoptimalkan intelektualitas kemanusiaan melalui metode ilmiah untuk eksplorasi berbagai realitas empirik yang ada di sekitar.
Namun sayangnya, usaha ini tidak memberikan ruang bagi spiritualitas dan akhlaq. Sekularisme meletakkan akhlaq sebagai subordinasi dari rasionalitas. Sehingga pendidikan sekuler tidak memberikan perhatian penting bagi tegaknya akhlaq dalam rangkaian proses pembelajaran. Akhirnya yang terlahir dari proses pendidikan ini adalah manusia terpelajar yang tidak bermoral, pandai tapi tidak beralhlaq, tinggi intelektual tapi rendah penghargaan atas manusia, banyak karya tapi sedikit adab (qalil adab). Sehingga lahirlah realitas hidup yang paradoks, semua serba terbalik. Inilah hasil dari proses sekularisasi dalam kebangsaan kita yaitu melahirkan kemunafikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara konsepsi Pancasila melalui sila pertamanya memberikan sebuah pesan akan pentingnya memadukan nilai ketuhanan dengan seluruh aspek kehidupan, mengawinkan antara materi dengan ruh, nilai norma (mizaajul maddah bir ruuh).
Dampak sekularisme adalah melahirkan liberalisme berpikir serta liberalisme dalam semua sistem pengelolaan kehidupan berbangsa (politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya) yang merusak sistem ketatanegaraan yang berlandaskan pada pancasila. Sehingga nilai Ketuhanan tergantikan dengan materialisme, nilai kemanusiaan yang beradab tergantikan dengan kebebasan tanpa batas, nilai persatuan tergantikan dengan individualisme, nilai kerakyatan permusyawaratan tergantikan dengan demokrasi liberal, dan nilai keadilan tergantikan dengan kepentingan kelompok dan golongan.
Pada realitas ini, nasionalisme kita sedang diuji, apakah kita benar-benar memiliki nasionalisme sejati, selayaknya para pejuang yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan, membela bendera merah putih agar tetap tegak berkibar di seluruh tanah air Indonesia. Namun apa yang terjadi saat ini ?, Nasionalisme kita sedang berada dalam krisis yang mengkhawatirkan, karena nasionalisme kita hanya menjadi jargon pemanis kebangsaan semata.
Semoga Allah swt memberikan kepada diri kita keimanan yang sungguh, nasionalisme yang utuh dan dijauhkan dari kemunafikan bersikap yang dapat merusak nilai keimanan. Karena nasionalisme atas negeri ini adalah bagian dari upaya mewujudkan dan menyempurnakan amanah kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para mujahid kemerdekaan Indonesia, negeri amanah para wali. Semoga Allah swt meridhoi perjuangan kita. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar