Kualitas seseorang terletak pada cara berpikir dan kualitas berpikirnya. Sebagaimana dikatakan oleh Rene Descartes bahwa, kita ada karena kita berpikir (Dalam bahasa Latin cogito ergo sum, dalam bahasa Prancis adalah: Je pense donc je suis, bahasa inggris : I think, therefore I am Atau, I think, therefore I exist. Artinya “Aku berpikir maka aku ada”.
Nilai seseorang sangat ditentukan oleh tingkat keberadaannya dalam realitas. Yaitu sejauh mana seseorang mampu menjadi bagian dari sebuah realitas dan memberikan kontribusi terbaiknya dalam mewujudkan realitas tersebut hingga mampu menjadi bagian sejarah. Sebuah realitas mungkin hanya bertahan dalam kurun waktu yang pendek. Sementara sejarah akan terus bertahan lama dalam benak individu. Disaat seseorang dalam hidupnya mampu terlibat dalam mencipta sejarah maka dia akan hidup dalam kurun waktu yang lama. Dan untuk mencapainya hanya dengan ikut terlibat dalam realitas secara maksimal dengan mengerahkan segala kemampuan agar bisa memberikan kemanfaatan yang banyak bagi sekitar sehingga jejak dirinya benar-benar diakui kebermaknaannya.
Untuk menuju pribadi yang penuh kebermaknaan dan kemanfaatan maka sangat ditentukan oleh kesediaan mengiptomalkan potensi dirinya melalui kemampuan untuk terus berpikir dalam menghasilkan produktifitas. Aktifitas berpikir bermula dari kemampuan membaca realitas dan kemudian merenungkannya untuk menemukan pesan yang tersimpan dari balik peristiwa. Kemampuan berpikir hingga menemukan pesan sebagai dasar pijak tindakan dan keputusan adalah potensi dasar penciptaan yang secara fitrah telah dimiliki oleh setiap manusia. Namun dalam realitasnya setiap orang dapat memiliki pencapaian yang berbeda tergantung kemampuan dirinya dalam mengoptimalkan potensi berpikirnya.
Berpikir adalah aktifitas utama dari potensi manusia berupa akal. namun dalam Al Quran tidak ada satupun kata aqala yang menunjuk pada potensi fisik manusia yang sebut dalam alquran. Namun alquran lebih banyak menggunakan kata kerja atas fungsi akal tersebut. Kata ’aql disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 49 kali. Kata kerja ta’qilun diulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun sebanyak 22 kali. Sedangkan, kata kerja ’aqala, na’qilu, dan ya’qilu masing-masing terdapat satu kali. Hal ini memberikan sebuah pesan bahwa manusia sekalipun masing-masingnya memiliki potensi otak serta potensi akal, namun apabila hal tersebut tidak digunakan atau tidak diaktifkan atau dioptimalkan maka hal tersebut tidak akan pernah bermakna apapun.
Potensi akal hanya akan bermakna manakala dipergunakan untuk berpikir dan merenung sehingga mampu menemukan pesan rahasia yang dapat dijadikan pembelajaran dan dasar pijak dalam melakukan suatu tindakan. Disaat seseorang sedang duduk dibawah pohon apel, kemudian ada buah apel yang jatuh. Maka bagi seseorang yang bersedia berpikir akan mampu menemukan sebuah pesan penting dibalik peristiwa jatuhnya buah apel tersebut, sehingga bagi seorang isaac newton peristiwa itu menjadi bahan pikir dan renungan mendalam hingga lahirlahlah teori tentang gravitasi. Sementara pada seseorang yang tidak mau berpikir maka peristiwa jatuhnya pohon hanya akan bermakna keberuntungan bagi dirinya untuk sebatas dikonsumsi saja.
Peradaban islam masa lalu yang diwarnai dengan berbagai penemuan-penemuan penting dibidang ilmu pengetahuan seperti di bidang astronomi, ilmu hayat, angka nol dalam bidang matematika, musik dan sebagainya tidak terlepas dari peran cendekiawab muslimin pada masa itu yang mencoba mendekatkan antara realitas dengan informasi sumber wahyu. Sehingga perpaduan berbagai peristiwa dan informasi sumber wahyu menghasilkan ilmu pengetahuan yang mendorong perubahan signifikan bagi perkembangan dan perubahan dunia hingga menemukan wujudnya seperti hal nya saat ini. Tersebutlah beberapa nama cendekiawan muslim yang mampu memadukan antara kemampuan akal dalam pembacaan realitas dengan infornasi sumber wahyu antara lain ibnu rusyd (averous), ibnu sina (avisena), al jabbar, alkhawarismi (algoritma), ibnu khaldun dan sebagainya. Orang-orang tersebut telah mampu hidup melampaui jamannya. Hidup yang bermakna, yaitu sekalipun usianya tidak melebihi seratus tahun namun pikirannya mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya di dalam benak generasi.
Namun manakala seseorang malas untuk berpikir, tidak mengoptimalkan potensi akal dalam dirinya dengan baik maka matilah akalnya itu. Ibarat pisau yang tidak pernah diasah hanya akan menjadikannya tumpul hingga tidak mampu digunakan untuk memotong benda apapun. Akal pikiran juga demikian, disaat tidak digunakan untuk merenungi sesuatu realitas maka akal akan tumpul dan sulit dipergunakan dalam membedah suatu peristiwa. Hingga akhirnya peristiwa yang terlintas di hadapan tak mampu memberikan pesan berharga dan peristiwa itu akhirnya hanya lewat begitu saja. Sehingga tidak menghasilkan produktifitas apapun dari realitas yang dihadapinya.
Untuk itu islam mendorong pada setiap ummatnya untuk selalu berpikir agar menghasilkan produktifitas bagi kesejahteraan kehidupan manusia dan semakin menemukan kebesaran Tuhan mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta. Itulah predikat ulul albab, yaitu muslim yang berakal sehat.
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali ‘Imran : 191)
Berdasarkan ayat diatas Seorang muslim haruslah selalu menggunakan akal pikirannya dalam memikirkan berbagai realitas hingga mampu menemukan kebesaran Allah, dengan cara bahwa dalam setiap berpikir libatkan Tuhan dalam setiap pembacaan realitas lalu tulislah pikiran itu sebagai dokumentasi ide dan demikian pula libatkan Tuhan dalam setiap kata yang dituliskannya itu. Agar buah pikiran dalam tulisan itu menjadi lebih bermakna.
Manakala potensi akal tidak mampu dioptimalkan dengan baik untuk berpikir, merenung, dan menghasilkan karya maka matilah nilai kemanusiaan dan hilanglah eksistensi diri manusia karena minimnya berpikir.
Semoga Allah swt memberikan karunia berpikir yang sehat dan selalu berada dalam bimbinganNya. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar