Proses pembinaan dan pembangunan karakter generasi dapat dikatakan berhasil manakala mampu menghasilkan tiga hal realitas dalam diri generasi yaitu memiliki semangat keilmuan yang hebat sehingga dengannya seorang generasi dapat memahami berbagai persoalan dengan mudah atas bimbingan ilmu pengetahuan yang dikuasai dan dipahaminya serta menjauhkan diri dari kebodohan. Kedua memiliki semangat dan kemauan yang tinggi untuk mengembangkan potensi dirinya secara sadar tanpa paksaan dalam mendorong optimalisasi potensi diri sehingga mampu menjadi pribadi produktif yang berdaya guna serta jauh dari kesia-siaan. Ketiga memiliki akhlaq perilaku yang mulia, penuh kesadaran dan kelembutan sikap sehingga mampu saling menghargai orang lain dengan cara yang bijaksana serta menjauhkan diri dari kerasnya hati yang dapat menutup jalan hidayah.
Ketiga indikator keberhasilan pembinaan karakter generasi dianggap mencapai puncaknya manakala mampu menampilkan akhlaq terbaik dalam berinteraksi dengan sesama. Karena muara dari seluruh proses aktifitas adalah akhlaq sebagai buah hasil dari proses pendidikan, pembinaan dan latihan atas semua potensi yang dimiliki. Akhlaq mulia adalah mahkota kemanusiaan yang telah melalui berbagai proses pembelajaran dalam kehidupan. Disaat semua proses dalam mengolah potensi sumber daya manusia tidak mampu menghasilkan akhlaq mulia dalam perilaku interaksionalnya diberbagai realitas kehidupan maka gagallah seluruh proses yang dilakukan.
Suatu proses pendidikan dimana pun jenjangnya dan siapapun pelaksananya dapat dianggap gagal manakala hasil perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta didiknya tidak mampu menampilkan akhlaq yang baik. Suatu proses manajemen sebuah lembaga atau organisasi pada apapun bentuk dan levelnya dianggap gagal manakala sumberdaya yang terlibat dalam proses di dalamnya tidak mampu menunjukkan perilaku akhlaq yang baik pula. Perilaku tawuran (suka berkelahi) pada generasi muda di kalangan pelajar atau demonstrasi di kalangan mahasiswa adalah tanda kegagalan proses pendidikan yang dilakukan. Perilaku korupsi yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri di kalangan pejabat dan pengelola organisasi adalah bentuk kegagalan proses pengelolaan sumber daya manusia. Perilaku fanatisme golongan di kalangan ormas yang tunjukkan dengan sikap mudah menyalahkan kelompok lain serta klaim kebenaran sepihak hingga berujung pada tindakan persekusi atau penolakan dengan kekerasan atas kelompok yang berbeda adalah bentuk kegagalan dari proses pembinaan dan pola pengkaderan yang dilakukan selama ini.
Kekerasan sikap, perilaku korupsi, fanatisme dan persekusi adalah tanda kerasnya hati pelakunya. Kekerasan hati menunjukkan gagalnya proses pendidikan, pembinaan dan pengkaderan atas generasi selama ini. Kekerasan hati adalah bukti adanya penyakit hati yang jika dibiarkan maka selangkah lagi akan menuju matinya hati. Hati yang mati akan menyebabkan tertolaknya kebenaran dan hidayah sehingga setiap petunjuk yang hadir akan ditolak dengan kesombongan. Rasulullah bersabda :
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Allah itu indah menyukai sikap berhias. Sombong itu menolak kebenaran dengan takabbur dan merendahkan orang lain. (HR. Muslim 275)
Sehingga sesungguhnya kesombongan itu sejatinya adalah sikap seseorang dalam menolak kebenaran dan petunjuk sehingga hiduplah dirinya dalam kegelapan. Jadi sesungguhnya yang dinamakan gelap itu bukanlah karena tidak adanya cahaya namun melainkan karena sedikitnya cahaya yang diterima. Demikian pula dengan kekafiran bukanlah sebab tidak adanya jalan petunjuk, namun melainkan ketidaksediaan dirinya untuk menerima cahaya kebenaran. Sehingga kesombongan itu merupakan tindakan yang dilarang oleh Allah sebab yang layak sombong hanyalah Allah swt yang tidak membutuhkan apapun pada siapapun (sifat wahdaniyah Allah). Karenanya orang yang sombong dengan menolak kebenaran dan merendahkan jalan petunjuk tidak layak untuk masuk sorga karena dirinya telah menolaknya. Sebagaimana Firman Allah swt :
إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Sesungguhnya orang yang sombong sehingga tidak mau beribadah kepadaku, mereka akan masuk jahanam dengan kondisi terhina.” (QS. Ghafir: 60)
Sebagaimana pula sabda Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْر
Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat zarrah dalam hatinya.
Indikator seseorang yang memiliki akhlaq mulia dibuktikan dengan kelembutan hati yang ditunjukkan dengan kesediaan menghargai dan menghormati setiap perbedaan, bersedia menerima perbedaan dan realitas yang tidak ideal dan tidak sesuai harapan dengan sikap yang penuh kesabaran dan lapang dada, mampu berkomunikasi dengan cara yang baik, lembut dan penuh hikmah atas hal yang tidak diharapkan. Sebagaimana disampaikan oleh seorang ulama muhaddist dan ahli sufi, Abuya sayyid Muhammad bin alawi almaliki bahwa seorang yang memiliki cakrawala keilmuan yang luas, tidak akan mudah protes terhadap orang lain.
Seorang yang memiliki akhlaq mulia pasti memiliki kelembutan hati yang memudahkan seseorang untuk merasakan kehadiran Allah yang maha lembut, maha bijaksana, sehingga menjadikan dirinya mudah menangkap berbagai pesan kasih sayang Allah yang akhirnya mendorong dirinya untuk ikut menebarkan pula kasih sayangnya kepada siapapun saja yang ada disekitarnya. Dari pemahaman ini lahirlah sikap toleransi, penerimaan, menebar kedamaian pada sesama.
Seorang yang memiliki akhlaq mulia ditandai dengan kelembutan hati dengan bersedia merasakan kehadiran Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengawasi dan Maha Mencatat, sehingga menjadikan dirinya sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengambil keputusan sehingga menghadirkan sikap penuh rasa tanggung jawab, penuh muraqabah yaitu merasa diawasi oleh Allah. Kehati-hatiannya dimaksudkan agar dirinya tidak tergelincir pada perilaku penyelewengan, kebohongan, penipuan dan korupsi.
Hati yang lembut akan mengundang turunnya rahmad Allah swt dan menambah keberkahan. Sementara kekerasan hati hanya akan menjauhkan dari kasih sayangNya dan mengundang turunnya murkaNya hingga muncul banyak pertikaian, perselisihan, permusuhan hingga perpecahan yang melemahkan persaudaraan dan persatuan yang akhirnya akan menghilangkan keberkahan atas negeri. Kesimpulannya bahwa akhlaq mulia adalah solusi bagi kejayaan suatu negeri. Sementara kekerasan dan keburukan akhlaq akan menjadikan suatu negeri musnah binasa.
Mari jauhkan diri dari kekerasan sikap dan gantilah dengan kelemahlembutan, tebarkan salam kasih sayang. Mulailah dengan takbir seraya merendahkan hati dan akhirilah dengan salam ke kanan dan ke kiri. Tidaklah sempurna diri kita sebagai seorang muslim manakala tidak mampu menebarkan salam kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan bagi sekitar. Itulah pelajaran dari shalat. Namun jika kehidupan diri kita menjadikan realitas sekitar tidak aman bahkan menakutkan bagi sesama, maka sejatinya diri kita sudah saatnya untuk di shalatkan.
Semoga Allah swt melembutkan hati kita sehingga lahir ketentangan dan kedamaian dalam kehidupan. Semoga diri kita diampuni oleh Allah swt dan selalu dibimbing berada di jalanNya. Aamiiin….
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar