Kanal24, Malang – Pemerintah mengklaim bahwa penciptaan lapangan kerja baru terus terjadi meskipun gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar melanda sejumlah perusahaan di Indonesia. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa kondisi ketenagakerjaan harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi PHK, tetapi juga dari pertumbuhan lapangan kerja baru.
“Kalau melihatnya itu (secara) resultante. Ada penciptaan lapangan kerja baru, mungkin ada yang tutup. Tapi lihat penciptaan lapangan kerja baru,” ujar Hasan di dikutip Kamis (06/03/2025). Ia juga mengindikasikan bahwa jumlah pekerjaan baru lebih banyak dibanding jumlah pekerja yang terdampak PHK.
Baca juga:
Bahas Rule of Law Index, FIA UB Menakar Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia
Namun, data di lapangan menunjukkan situasi yang tidak sesederhana itu. Berdasarkan catatan Tirto, pada awal 2025, sedikitnya empat perusahaan besar telah melakukan PHK massal, dengan korban mencapai puluhan ribu orang. Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex Group) menjadi yang paling banyak terdampak, dengan 10.665 karyawan kehilangan pekerjaan akibat kebangkrutan perusahaan.

Selain itu, PT Sanken Indonesia mengumumkan PHK terhadap 459 karyawannya dan berencana menghentikan produksinya pada Juni 2025. Sementara itu, PT Tokai Kagu memutus hubungan kerja dengan 195 pegawai, dan PT Yamaha Music mengumumkan akan menutup operasinya pada Maret 2025. Bahkan, PT Yamaha Indonesia, yang khusus memproduksi piano, juga akan mengakhiri operasinya pada Desember 2025, berimbas pada sekitar 1.100 pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengakui bahwa PHK massal memang terjadi, tetapi ia tetap optimis bahwa industri manufaktur terus berkembang dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Menurut data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada 2024, industri manufaktur yang baru berproduksi menyerap hingga 1.082.998 tenaga kerja baru. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari-Desember 2024 terdapat 77.965 orang yang terdampak PHK.
Meskipun data tersebut menunjukkan adanya selisih yang besar antara penciptaan lapangan kerja baru dan angka PHK, beberapa pakar menilai bahwa klaim pemerintah perlu dikaji lebih dalam. Dosen Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, menekankan bahwa penciptaan lapangan kerja harus bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Harus diingat bahwa yang mencari pekerjaan tidak hanya orang yang barusan di-PHK, tapi juga banyak calon pekerja muda yang masih menganggur,” kata Nabiyla kepada Tirto, Rabu (5/3/2025).
Tantangan Industri dalam Persaingan Global
Gelombang PHK yang melanda industri tekstil dan manufaktur tidak terjadi tanpa sebab. Menurut Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, industri manufaktur menghadapi tekanan besar akibat persaingan global yang semakin ketat. Penurunan permintaan ekspor akibat perlambatan ekonomi global, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, serta lonjakan biaya produksi akibat kenaikan harga energi dan bahan baku impor, memperburuk situasi.
“Kesenjangan kompetensi antara pekerja yang di-PHK dengan kebutuhan industri baru dapat menghambat penyerapan tenaga kerja,” ujar Yusuf. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan solusi jangka panjang, seperti diversifikasi pasar ekspor, peningkatan efisiensi produksi, dan program pelatihan ulang (reskilling) agar tenaga kerja dapat beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang terus berubah.
Terkait hal ini, Nabiyla dari UGM juga mengungkapkan bahwa daya saing industri dalam negeri masih tertinggal dibanding negara lain. “Industri kita masih kurang cepat dalam beradaptasi, terutama dalam pemanfaatan teknologi,” katanya. Hal ini diperparah oleh kebijakan impor yang dinilai kurang mendukung produksi dalam negeri, khususnya di sektor tekstil.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Gelombang PHK
Pengamat ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Nur Effendi, menyoroti dampak kebijakan impor yang turut berkontribusi pada masalah ini. Ia menyebut bahwa penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor justru memperparah kondisi industri tekstil dalam negeri. “Awalnya aturan ini dibuat untuk mengatasi kendala teknis impor, tetapi dampaknya justru membuat produk lokal sulit bersaing,” ujarnya.
Sebagai contoh, pada Oktober 2024, volume impor tekstil mencapai 197,35 ribu ton, naik dari 188,69 ribu ton pada Oktober 2023. Akibatnya, banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang tidak mampu bersaing dan terpaksa gulung tikar.
PHK massal ini juga berdampak luas pada daya beli masyarakat. Tadjudin mencontohkan bagaimana penutupan pabrik Sanken disebabkan oleh turunnya daya beli kelas menengah, yang pada gilirannya berdampak pada penurunan penjualan produk-produk mereka.
Yusuf dari CORE menambahkan bahwa lonjakan pengangguran dapat memicu ketidakstabilan sosial, terutama di daerah yang bergantung pada sektor manufaktur. “Dampak luas dari PHK massal ini mencakup penurunan daya beli, perlambatan ekonomi regional, serta peningkatan tekanan pada sistem jaminan sosial pemerintah,” jelasnya.
Langkah Pemerintah dalam Mengatasi PHK
Menyikapi gelombang PHK ini, pemerintah didorong untuk mengambil langkah-langkah konkret agar situasi tidak semakin memburuk. Nabiyla menekankan perlunya kebijakan yang lebih berpihak pada industri dalam negeri serta adanya strategi mitigasi untuk mengantisipasi PHK lebih lanjut. “Jika tidak ada kebijakan yang signifikan, gelombang PHK ini bisa berlanjut,” katanya.
Baca juga:
RBI UB, Jembatan Diplomasi Budaya Indonesia di Kancah Dunia
Sementara itu, Tadjudin menilai bahwa salah satu solusi utama adalah menarik lebih banyak investasi masuk ke Indonesia dengan memberikan kemudahan dalam proses investasi, seperti yang dilakukan oleh Myanmar dan Vietnam.
Pemerintah kini berada di persimpangan jalan. Jika tidak segera bertindak dengan kebijakan yang tepat, gelombang PHK yang terjadi bisa berujung pada krisis ketenagakerjaan yang lebih luas. Klaim penciptaan lapangan kerja baru harus benar-benar terbukti dan dirasakan langsung oleh masyarakat, bukan sekadar angka di atas kertas. (nid)