Suatu ketika ada seorang tua yang dia berniat sangat kuat ingin membantu perjuangan ummat islam namun dirinya tidak memiliki kemampuan apapun karena sudah tua renta dan tidak memiliki kemampuan apapun kecuali hanya kemampuannya dalam memahat dan membuat mimbar kayu. Tepatnya pada masa Sultan Nuruddin Mahmud Zanky. Orang tua ini akhirnya membuat sebuah mimbar ukiran yang sangat indah terbuat dari kayu yang dihias dengan ukiran dan beberapa aksesoris detail nan indah. Sehingga suatu hari ada seorang kaya yang mendatanginya berniat ingin membelinya dengan harga yang sangat mahal. Kabar berita seorang yang membuat mimbar indah ini akhirnya tersebar dan viral di kalangan masyarakat Baghdad kala itu. Hingga banyak orang kaya mendatanginya dengan menawarkan harga lebih mahal lagi. Namun orang tua si pembuat mimbar ini bergeming, dia tidak ingin menjualnya pada siapapun dengan harga berapapun sebab dia bercita-cita dengan mimbar yang dibuatnya itu agar dapat membantu perjuangan kaum muslimin yaitu ingin diletakkan di masjid al aqsha (al quds), kiblat pertama ummat islam yang berjarak sangat jauh ratusan kilometer dari tempatnya yang jelas keinginan tersebut tidak mungkin dan sulit terwujud pada masa itu.
Hingga pada suatu hari datanglah seorang anak kecil yang masih berusia sangat belia, sekitar 8 tahunan mendatangi orang tua ini, seraya mengatakan bahwa suatu hari nanti dia akan membawa mimbar ukiran kayu ini ke al aqsha. Dan ternyata benar, setelah beberapa kurun waktu kemudian tepatnya setelah 40 tahun kemudian mimbar tersebut benar-benar berdiri kokoh di masjid al Aqsha. Tahukah anda siapakah anak kecil belia itu? . Dialah Shalahuddin Al Ayyubi, sang penakluk yerussalem, tanah al quds dan masjid al aqsha dari cengkeraman kaum kristen kala itu. Tepatnya pada tanggal 2 Oktober 1187 bertepatan dengan 27 Rajab 582 H atau pada malam peringatan Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah SAW. Pembebasan ini adalah pembebasan kedua kalinya pasca pembebasan pertama oleh khalifah amirul mukminin umar bin khattab.
Walalupun kemudian mimbar shalahuddin yang bersejarah tersebut hancur terbakar (lebih tepatnya sengaja dibiarkan dibakar) ketika peristiwa 21 Agustus 1969 oleh seorang Zionis Radikal, yang berpura-pura sebagai turis asal Australia yang dengan sengaja ingin menghilangkan jejak Shalahuddin al Apyyubi. Setelah hampir 800 tahun mimbar tersebut berada di masjid al aqsha dengan segala cerita heroiknya.
Terdapat sebuah pelajaran berharga dalam kisah mimbar ini yaitu seseorang akan bermakna manakala hidupnya diisi dengan niat yang kuat untuk mengabdikan dirinya bagi perjuangan dakwah islam ini sekalipun hanya dengan kemampuan diri yang dianggap sepele yang dimilikinya. Berkontribusi dalam dakwah adalah bagian dari kewajiban seorang muslim sekecil dan seremeh apapun kontribusi yang diberikan. Karena tidak ada yang kecil sepele dan remeh jika suatu tindakan diniatkan untuk turut menolong agama Allah swt. Dan setiap apapun tindakan dengan maksud untuk menolong agama Allah swt maka Allah pasti akan menolong kita dan meneguhkan kedudukan kita.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad : 7)
Menjadi bagian dari suatu perjuangan dengan terlibat memberikan kontribusi apapun secara tulus ikhlas sekalipun sepele akan mampu mengarahkan pada sebuah pencapaian besar dan sangat bermakna bagi kehidupan. Setiap muslim perlu mengerahkan semua potensi dirinya untuk mendukung perjuangan dakwah agar terwujud khairu ummah dan menjadikan dirinya dalam barisan para pejuang islam.
Sebaliknya, janganlah seorang muslim menjadi bagian dari gerakan musuh islam yang ingin melemahkan semangat dakwah. Sekecil apapun tindakan seorang muslim yang terlibat dalam irama genderang musuh maka hal itu juga sama halnya ikut serta dalam barisan pasukan musuh. Semenjak perang salib, musuh islam tidak pernah berhenti untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin dan meredupkan cahaya islam dengan menabuh genderang melalui berbagai cara yang disebut dengan “gahzwul fikr”, baik melalui labelisasi buruk (demonologisasi) terhadap tindakan yang dapat membangkitkan kekuatan. Misal label radikal, fundamentalis, ekstrimis dan teroris sebagai labelling atas mereka yang berani bersuara tegas atas kemungkaran dan berani menggelorakan semangat dakwah dan jihad. Pada saat yang bersamaan musuh islam memainkan irama dan tarian baru untuk mengelabui ummat islam agar semakin jauh dari nilai murni agamanya, yaitu tarian liberalisme, pluralisme, sekularisme, relativisme yang kemudian berdampak pada permisifisme atas berbagai kemungkaran.
Seorang muslim yang merasa nyaman terlibat dalam genderang musuh dengan ikut terlibat mengkampanyekan ide liberalisme agama sebenarnya mereka telah ikut melemahkan kekuatan ummat ini dan secara ikhlas telah menyerahkan ummat Islam untuk di mangsa oleh musuh. Tindakan yang demikian adalah bentuk pengkhianatan terhadap Allah, Rasulullah, Agama islam dan ummat islam ini. Namun sayangnya tindakan itu dianggap sebagai upaya pembaharuan ide islam untuk menyesuaikan dengan realitas zaman sekalipun sebenarnya hal demikian adalah melemahkan dan mereduksi ide murni islam.
Mimbar shalahuddin telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa sekiranya kita tidak mampu ikut terlibat sebagai pasukan mujahidin dalam memerangi musuh di medan laga maka setidaknya kita tidak terlibat dalam melemahkan kekuatan ummat islam dengan mengikuti irama genderang musuh. Sebagai muslim selayaknya berkontribusi terhadap perjuangan ummat ini sekalipun dengan tindakan dan karya-karya yang sepele dan kecil namun mampu menggugah semangat generasi untuk bangkit memuliakan islam dan ummatnya. Duhai shalahuddin, dimaka kau sembunyikan keberanianmu, tunjukkan pada kami agar generasi kami bisa melanjutkan semangatmu ‼
Semoga Allah swt memberikan petunjuk pada diri kita untuk tetap istiqomah di jalanNya yang lurus. Dan semoga dijauhkan dari penyakit hati atas sesama muslim yang menjadikan muslim sebagai musuh. Semoga Allah swt mengampuni dosa kita. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar