Oleh : Dr. Akhmad Muwafik Saleh, S.Sos., M.Si.*
Hati adalah penguasa diri kita. Dialah yang memerintah terhadap ucapan dan tindakan kita. Hati adalah letak perasaan bersemayam. Dan dari perasaan itu yang mempengaruhi pikiran, serta selanjutnya perilaku. Jika hati dalam keadaan baik, maka baik pulalah seluruh dirinya. Sebaliknya, jika buruk keadaan hati seseorang, maka buruk pulalah seluruh kondisi dan keadaan diri seseorang. Sehingga buruk pulalah cara berpikirnya, berucap dan bertindaknya.
Karena semua ke”diri”an seseorang dipengaruhi oleh keadaan hatinya. Jika hati terluka dan mengalami sakit, maka semua “dirinya” juga akan mengalami sakit pula. Sakit hati pada diri seseorang akan berdampak pada apa yang dipikirkan dan hasil pemikirannya, berdampak pula pada ucapannya, berdampak pula pada tindakannya, baik tindakan domestik atau tindakan sosial saat berinteraksi dengan orang lain. Karena itulah keselamatan hati dan sehatnya hati, menjadi kunci bagi kualitas hidup dan diri seseorang, baik pada aspek personalitasnya maupun kualitas interaksinya dengan orang lain.
Setiap organ tubuh manusia memiliki fungsinya masing-masing. Tangan untuk memegang, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, mulut atau lidah untuk berucap, dan kaki untuk berjalan. Maka hati adalah untuk berdzikir kepada Allah, Sang Penciptanya. Hati adalah letak dari perasaan, yang aktivitas utamanya adalah mencinta, menyenangi sesuatu, Al hubb.
Sementara itu, hati memiliki karakteristik mudah berubah-ubah bolak-balik sangat dinamis sebagian disebutkan dalam sebuah ungkapan :
سمي القلب لتقلبه، كما سمي الانسان لنسيانه
“Dinamakan hati karena bolak-baliknya hati، sebagaimana dinamakan manusia karena suka lupa”.
Berubah-ubah dan Bolak-baliknya hati dipengaruhi oleh faktor yang masuk ke dalam diri seseorang, melalui 6 jalur inderanya, yaitu dari apa yang dilihat, dari apa yang didengar, dari apa yang disentuh, dari apa yang dibaui, dari apa yang dikecap, dan dari apa yang dilakukan. Apabila Banyak noise atau gangguan yang masuk pada hati, melalui berbagai jalur tersebut, seperti suara musik, berbagai realitas yang mengganggu pandangan mata, bau menyengat yang tidak sedap. Maka semuanya itu akan mengganggu terhadap suasana hati (mood) yang nantinya akan berpengaruh pada cara berpikir, ucapan dan tindakan.
Karena peran yang sangat strategis ini, maka hati harus dibuat tenang dan damai agar dapat selalu bahagia. Dan cara membuat tenangnya hati adalah dengan berdzikir. Demikianlah yang dijelaskan oleh Allah dalam FirmanNya :
أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [Surat Ar-Ra’d: 28]
Untuk itu agar hati dapat tenang dan fokus (khusyu’), tetap terjaga pada satu tujuan. Maka keberadaan 6 jalur tersebut diatas harus mampu mendukung bagi kukuhnya hati untuk tetap fokus, khusyuk, dan tenang pada satu tujuan. Sehingga di sinilah perlunya di saat seseorang sedang berdzikir, maka lisan perlu ikut membantu meneguhkannya melalui pengucapan, melafadzkan (talaffudz), agar didengar oleh telinga. Demikian pula suasana tempat juga perlu mendukung seperti wewangian yang direspon oleh hidung, tempat yang tenang yang dapat direspon oleh mata. Karena itulah, Allah menyarankan agar kita banyak mempergunakan waktu sepertiga malam karena suasana pada saat itu sangat tepat dan cocok untuk mendapatkan ketenangan bagi hati.
Memanfaatkan semua jalur tersebut seperti lidah, telinga dan mata, bisa menjadi jalan untuk mengingat Allah (dzikrullah). Dan melalui jalur-jalur itulah, maka semuanya juga mendapatkan pahala. Sehingga di saat kelak dimintai pertanggungjawaban terhadap seluruh anggota tubuh kita, maka semua itu akan memberikan persaksian kepada Allah bahwa mereka semua telah ikut menjadi jalan untuk mengingat Allah (Dzikrullah).
Demikianlah para ulama menyatakan bahwa dzikir jahr (mengeraskan suara dengan lisan saat berdzikir) adalah diniatkan untuk menguatkan hati dalam mengingat kepada Allah, agar hati tetap pada satu jalur tujuan. Sehingga tercipta khusyu. Dengan syarat dipastikan dari riya’, tidak menganggu orang yang sedang shalat, orang yang membaca alquran atau orang yang sedang tidur, berdasarkan hadits Nabi :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari dan Muslim]
عن زيد بن أسلم رضي الله عنه قال: قال ابن الأدرع رضي الله عنه: (انطلقت مع النبي صلى الله عليه وسلم ليلة ؛ فمر برجل في المسجد يرفع صوته، قلت: يا رسول الله عسى أن يكون هذا مرائياً ؟ قال: “لا، ولكنه أوَّاه”) [رواه البيهقي)
Dari zaid bis Aslam RA, berkata. Berkata Ibnu al adra’i RA : pada suatu malam aku bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berjalan dan mendapati di masjid ada seorang yang sedang mengeraskan suaranya (berdzikir) aku berkata : “Wahai Rasulullah sangat mungkin orang ini sedang pamer.” beliau SAW bersabda : “tidak, tetapi ia seorang yang membalas kepada Tuhannya” (HR Al Baihaqi)
Bahkan suasana lingkungan pun perlu diciptakan untuk dapat mendukung agar suasana hati berada dalam keadaan yang mendukung dalam mengingat Allah . Di sinilah pentingnya berdzikir bersama-sama (Dzikir jamaiy).
Maka jika provokasi maksimal secara masif dilakukan oleh seluruh organ tubuh kita dan pula dilakukan pula secara bersama-sama dengan banyak orang sebagai jalur untuk mengingat Allah guna menenangkan hati kita, maka dengan izin Allah persoalan hidup akan terselesaikan dan luka hati akan segera tersembuhkan. In syaa Allah..
*) Dr. Akhmad Muwafik Saleh, S.Sos. M.Si., Dosen FISIP UB, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Tanwir Al Afkar