KANAL24, Jakrta – Kewajiban pencatuman label halal untuk produk dan layanan konsumen mulai Kamis besok (17/10), merisaukan sejumlah perusahaan, terutama perusahaan lecil dan menengah. Tingginya biaya dan tidak adanya pedoman teknis yang jelas untuk mendapatkan lisensi mengancam kelancaran bisnis jutaan produsen lokal.
Menurut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), lembaga di bawah Kementerian Agama, wajib label halal untuk pertama kali akan diberlakukan pada produk dan layanan makanan dan minuman mulai 17 Oktober. Kewajiban tersebut secara bertahap akan diperluas hingga mencakup obat-obatan, kosmetik, dan barang-barang konsumen lainnya.
Namun pelaksanaan kewajiban tersebut, menurut Asosiasi Produsen Makanan dan Minuman Indonesia, menyulitkan sejumlah besar perusahaan kecil dan menengah untuk memenuhi peraturan tersebut karena tak ada pedoman teknis yang terperinci.
“Hampir semua bisnis di berbagai sektor, baik yang besar atau kecil, memiliki keprihatinan pada kebijakan jaminan produk halal,” kata Shinta Widjaja Kamdani, wakil ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia. “Jika diterapkan tanpa panduan yang jelas, itu dapat disalahgunakan dan akan merugikan bisnis,” imbuhnya seperti dikutip Bloomberg, Rabu (16/10/2019).
Indonesia berupaya memposisikan diri sebagai salah satu pusat ekonomi dan keuangan Syariah, seiring dengan melonjaknya permintaan akan produk halal. Bank Indonesia memproyeksikan, ekonomi Syariah Indonesia akan melonjak hingga USD427 miliar pada tahun 2022. Nilai makanan halal saja diperkirakan mencapai lebih dari 60%.
“Peluang di pasar halal domestik terbuka lebar dan ini adalah captive market ,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo. “Di masa depan, banyak produk halal, baik yang diproduksi oleh perusahaan besar atau UKM, akan membanjiri pasar domestik. Selain meningkatkan PDB, ini juga akan membantu meningkatkan neraca perdagangan dengan memotong impor. “
Menurut Bloomberg Intelligence, perusahaan-perusahaan besar di sektor makanan dan minuman, seperti Nestle SA dan Unilever, berusaha mengembangkan lebih banyak produk halal untuk meraih peluang tersebut, terutama di negara-negara mayoritas muslim. PT Unilever Indonesia berupaya mendapatkan sertifikasi halal untuk semua pabriknya demi membuat pelanggannya “merasa aman dan nyaman,” kata Direktur Sancoyo Antarikso.
Majelis Ulama Indonesia, sebagai satu-satunya otoritas untuk mengeluarkan sertifikat halal, mengharapkan permintaan sertifikasi halal akan meningkat pesat setelah wajib label halal diberlakukan.
Kendati begitu, ketua asosiasi makanan dan minuman, Adhi S. Lukman mengatakan, hingga kini pemerintah belum merinci bagaimana rencana untuk membantu usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan sertifikasi halal. Tak jelas juga bagaimana pemerintah akan memperlakukan produk tanpa label halal.
“Itu merupakan tantangan bagi para produsen bahkan yang telah memenuhi semua kriteria untuk pelabelan halal tetapi belum dapat memperoleh sertifikasi,” kata Adhi. Asosiasi memperkirakan industri makanan dan minuman di Indonesia terdiri dari 6.000 pemain menengah hingga besar, dan sekitar 1,6 juta usaha mikro, kecil dan menengah.
Kepala BPJPH, Sukoso meminta Kementerian Keuangan untuk mensubsidi biaya sertifikasi halal untul usaha mikro dan kecil. “Mereka seharusnya tidak membayar tidak lebih dari 1,5 juta rupiah untuk mendapatkan sertifikat halal, dibandingkan dengan hingga 7 juta rupiah untuk perusahaan besar,” kata Sukoso. (sdk)