Kanal24, Malang – Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar seminar nasional bertajuk “Mengkritisi Substansi dan Arah RKUHAP 2025” pada Kamis (08/05/2025), sebagai respons akademik terhadap pembaruan hukum acara pidana Indonesia yang sedang disusun pemerintah. Seminar ini menghadirkan para pakar hukum pidana dan prosedural untuk menguji sejauh mana RKUHAP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) 2025 telah sejalan dengan semangat KUHP nasional yang baru.
Salah satu pembicara utama, Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., menyampaikan bahwa semangat pembaruan RKUHAP semestinya berpijak pada nilai-nilai humanistik dan keadilan restoratif. Menurutnya, RKUHAP 2025 belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam hal pendekatan yang lebih manusiawi terhadap proses penegakan hukum.
Baca juga:
DWP FH UB Dorong Perempuan Kartini Modern Indonesia

“RKUHAP harus dibangun berdasarkan semangat baru yang tidak lagi berorientasi pada pencerahan atau balas dendam. Hukum pidana harus bergerak menuju pendekatan yang rehabilitatif dan restoratif,” tegas Fachrizal.
Ia menyoroti bahwa dalam draf RKUHAP, pemidanaan masih cenderung menjadi instrumen yang merendahkan martabat manusia, alih-alih memberikan pemulihan yang adil. Selain itu, mekanisme hukum acara belum sepenuhnya berpihak pada keadilan substantif, terutama dalam hal diskresi aparat yang masih sangat luas tanpa indikator yang jelas.
Fachrizal juga menekankan pentingnya pembaruan pola pikir di seluruh lini penegakan hukum, dari penyidik hingga hakim. Ia menilai bahwa ketidaksinkronan antara hulu dan hilir dalam proses peradilan pidana akan membuat perubahan hukum tidak efektif.
“Kalau pengadilannya sudah berubah tapi proses penyidikannya masih berlandaskan paradigma lama, itu sama saja bohong. Kita butuh sistem yang menyatu, dari awal hingga akhir,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengkritik implementasi konsep restorative justice dalam tahap penyelidikan. Ia menilai bahwa pada tahap ini, belum ada kejelasan tentang siapa korban dan pelaku, sehingga penerapan keadilan restoratif justru berisiko menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan.
“Restorative justice di tahap penyelidikan itu sangat problematis. Belum ada tersangka, belum jelas korbannya, tapi sudah bicara tentang RJ. Ini rawan tindakan sewenang-wenang,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., turut menyoroti pentingnya RKUHAP yang berbasis pada prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Ia menggarisbawahi bahwa sebagian pasal dalam draf RKUHAP belum mencerminkan pemisahan kekuasaan secara optimal dan berpotensi melemahkan perlindungan HAM.
“Beberapa norma masih terlalu tajam dalam persoalan sipil, dan tidak sepenuhnya melindungi HAM. RKUHAP seharusnya dibangun berdasarkan pendekatan hukum yang adil, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan mencerminkan nilai-nilai konstitusional,” jelas Aan.
Ia juga menekankan bahwa penyusunan RKUHAP harus dilakukan secara partisipatif, dengan keterlibatan masyarakat secara nyata. Hal ini menjadi penting agar hukum yang dihasilkan tidak elitis, tetapi benar-benar mencerminkan kebutuhan dan harapan rakyat.
Baca juga:
Halal Bihalal FH UB, Perkuat Ukhuwah dan Etos Kerja
“Pembentukan KUHAP yang baru harus melibatkan partisipasi penuh masyarakat. Aspirasi publik harus didengar dan dijelaskan jika tidak diakomodasi,” ujarnya.
Dr. Aan juga menyoroti pentingnya penyelarasan antara KUHP dan KUHAP. Menurutnya, KUHAP yang baru harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan yang telah termuat dalam KUHP nasional yang disahkan sebelumnya, terutama dalam aspek pemidanaan dan perlindungan korban.
Seminar ini menjadi ruang penting bagi para akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa untuk mendalami serta mengkritisi draf RKUHAP 2025 yang sedang dibahas oleh pemerintah dan legislatif. FH UB berharap, forum ini dapat memberikan masukan substantif agar regulasi yang dihasilkan nantinya benar-benar mencerminkan hukum acara pidana yang adil, humanis, dan sesuai dengan semangat pembaruan hukum nasional. (nid)