Kanal24, Jakarta – Awal tahun 2025 dibuka dengan kabar yang mengkhawatirkan dari dunia ketenagakerjaan Indonesia. Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sebanyak 73.992 pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya dalam periode 1 Januari hingga 10 Maret 2025. Sebanyak 40.683 orang di antaranya bahkan sudah mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) mereka sebagai kompensasi kehilangan pekerjaan.
Kondisi ini menambah panjang deretan pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Sepanjang tahun 2024 lalu, total 257.471 pekerja keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan karena PHK, dengan 154.010 orang mencairkan JHT.
Baca juga:
Efisiensi Anggaran Bikin Ekonomi RI Melambat
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyebut bahwa gelombang PHK kali ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan tekanan besar yang dihadapi sektor industri dan usaha nasional. “Ada lima tekanan utama yang kami temukan dari survei terhadap lebih dari 350 perusahaan. Yang paling dominan adalah penurunan permintaan (69,4%), disusul kenaikan biaya produksi (43,3%), dan perubahan regulasi upah minimum (33,2%),” jelas Shinta dalam Media Briefing di Jakarta (14/5/2025).
Apindo juga mencatat, lapangan kerja baru yang tercipta belum mampu mengimbangi laju PHK. Padahal, menurut estimasi, Indonesia perlu menciptakan 3–4 juta lapangan kerja baru setiap tahun untuk menyerap tenaga kerja yang terus bertambah.
Shinta menambahkan bahwa ketidakpastian ekonomi global, tekanan dari produk impor, dan adopsi teknologi seperti otomatisasi juga turut mempercepat tren pengurangan tenaga kerja. “Kita perlu segera melakukan revitalisasi sektor padat karya, karena ini menjadi solusi jangka pendek dan menengah dalam menekan angka PHK,” tegasnya
Sementara itu, gelombang PHK juga membuka diskusi lebih luas tentang masa depan tenaga kerja di Indonesia. Digitalisasi dan otomatisasi yang terus berkembang memaksa perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga manusia. Kondisi ini mendorong para ahli untuk menyerukan peningkatan program pelatihan keterampilan (upskilling) sebagai solusi jangka panjang. “Transformasi tenaga kerja menjadi lebih berbasis teknologi adalah keniscayaan, dan pemerintah perlu lebih proaktif dalam mendukung pekerja beradaptasi,” ujar analis tenaga kerja, Rina Setyowati.
Di sisi lain, buruh dan serikat pekerja mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap perlindungan hak-hak tenaga kerja di tengah gelombang PHK. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan pentingnya dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. “Kami mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak mengorbankan kesejahteraan pekerja. Negara harus hadir untuk melindungi rakyatnya,” tegas Said.
Dengan situasi ini, berbagai pihak mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam mengatasi gelombang PHK dan menciptakan lapangan kerja baru. Revitalisasi sektor padat karya dan peningkatan investasi diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi angka pengangguran dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah juga perlu meningkatkan koordinasi dengan dunia usaha untuk meminimalkan dampak dari gelombang PHK ini dan memastikan keberlangsungan usaha di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat. (nid)