Setiap proses berpikir atau perilaku seseorang tidaklah lahir muncul begitu saja dalam diri seseorang melainkan dibentuk atau dikontruksi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam diri seseorang. Faktor internal bisa jadi adalah jenis kelamin, ras keturunan, fisik, sifat dan kepribadian. Seorang laki-laki dipercaya cenderung lebih tegas dan berani (maskulin) dibandingkan perempuan yang lemah lembut, suka keindahan, dan suka bersolek (feminim). Sekalipun pada beberapa hal terkadang dibangun pula oleh stereotipe dalam menilai perilaku seseorang.
Sementara faktor eksternal, cara berpikir dan perilaku seseorang dipengaruhi bisa jadi oleh pendidikan, pengalaman, agama keyakinan, budaya masyarakat dan lingkungan. Seseorang yang memiliki level pendidikan tertentu akan berbeda dalam mengkonstruksi pikiran dan perilaku. Demikian pula, seseorang dengan beragam pengalaman dan yang sedikit pengalaman tentu akan berbeda dalam mempersepsi dan mensikapi sesuatu. Pengalaman bisa berupa informasi ataupun kejadian dimasa lalu (maklumat saabiqah) yang pernah dialami dan dilalui oleh seseorang. Juga berkontribusi dalam menjelaskan sebuah perilaku. Pikiran dan perilaku yang diproduksi oleh seseorang inilah yang akan membentuk citra diri (self image) seseorang yang mempengaruhi terhadap cara seseorang mensikapi realitas.
Islam hadir ke muka bumi untuk memberikan tuntunan agar cara berpikir dan tindakan atau perilaku seseorang menjadi benar. Sebab kehidupan dalam pandangan islam tidaklah semata di dunia saja sebagai sebuah realitas final namun pula menegaskan bahwa apapun yang dilakukan di dunia berhubungan dengan kehidupannya kelak di akhirat (bahagia atau sengsara), sebagai akibat dari proses interaksi yang dilakukan selama di dunia. Untuk itu islam menekankan bahwa proses berpikir seseorang dan cara bertindak seseorang akan dapat dianggap benar manakala wahyu Tuhan yang dijadikan rujukan utama sekaligus preferensi dalam berpikir dan bersikap seseorang. Petunjuk Tuhan yang dijadikan landasan kerangka acuan (term of reference) dalam menjalani seluruh aspek dan proses kehidupannya sebagai sebuah pilihan rasional dan tidak menjadikan informasi masa lalu yang buruk ataupun pertimbangan emosional berdasarkan ras kesukuan sebagai pijakan. Hal demikian ditegaskan oleh Allah swt dalam FirmanNya :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡـٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah : 170)
Islam menekankan akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) atau proses referensi berpikir dan bersikap berdasarkan pertimbangan rasionalitas yang bersumber dari sumber wahyu atau dalil-dalil rasional ilmiah ketuhanan (transenden) daripada mengikuti hawa nafsu atas dasar emosionalitas. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah dalam Al Quran surat almaidah :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104).
Ternyata, pola berpikir dan bertindak yang didasarkan atas pilihan emosional dengan mendasarkan pada peristiwa dan jejak masa lalu dari para nenek moyang telah menjadi alasan utama para penentang kebenaran semenjak jaman pra sejarah atau manusia dan ummat sebelumnya. Misal penentangan ummat Nabi Nuh sebagaimana diabadikan dalam alquran QS. Al mukminuun: 23-24). Kaum Nabi Hud (kaum ‘Ad) diabadikan dalam QS. Al a’raf: 65, 70. Kaum Nabi Shalih (kaum Tsamud) diabadikan dalam QS. Hud :62-63. Kaum Nabi Ibrahim diabadikan dalam QS. Al anbiya’ : 51-54. Kaum Nabi Syuaib (penduduk madyan) diabadikan dalam QS. Hud: 84-87. Kaum nabi Yusuf diabadikan dalam QS. Yusuf: 39-40. Kaum Nabi Musa diabadikan dalam QS.Yunus: 75-78. Demikian pula kaum Quraisy saat Nabi Muhammad diutus, mereka pun melakukan penentangan kebenaran dengan mendasarkan pada argumentasi emosional masa lalu, yaitu mengikuti jejak (pola pikir dan sikap) nenek moyang mereka yang jauh dari petunjuk. Sebagaimana diabadikan dalam QS. Luqman :31
Kisah yang masyhur dalam sejarah tentang keengganan paman Nabi, Abu Thalib dalam mempersaksikan kalimat tauhid. Namun tak dapat singkal bahwa Abu Thalib sangatlah menyayangi Rasulullah bahkan sangat melindungi Rasulullah hingga beliau sangat terkenal dalam menjadi benteng Rasulullah dari serangan kaum pembesar Quraisy. Namun beliau lebih memilih agama nenek moyang daripada agama Muhammad. Hal ini dikisahkan di dalam hadits berikut ini:
عَنْ سَعِيدِ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ ((يَا أَبَا طَالِبٍ)) أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ
Dari Sa’îd bin al-Musayyib, dari bapaknya, dia berkata: “Ketika kematian mendatangi Abu Thâlib, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya. Beliau mendapati Abu Jahal dan `Abdullâh bin Abi Umayyah bin al-Mughîrah di dekat Abu Thâlib. Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illallâh, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah Azza wa Jalla !” Abu Jahal dan Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan: “(Wahai Abu Thâlib) apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illallâh.” (HR. Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24).
Preferensi atau pilihan sikap yang diambil Paman Nabi, Abu Thalib bin Abdul Muthallib didasarkan oleh sebuah konstruksi berpikir tentang prinsip ketuhanan yang didasarkan pada pilihan argumentasi keyakinan nenek moyang. Setiap orang memiliki hak dalam memilih suatu sikap berdasar sebuah pikiran yang mungkin sangat dipengaruhi oleh maklumat sabiqahnya tentang apa yang disebut baik dan buruk atau benar dan salah. Untuk Islam mengarahkan setiap pribadi muslim dalam memilih sikap ataupun proses berpikir agar mendasarkan pada kerangka acuan rasional yang dibangun atas nilai keyakinan atau keimanan yang bersumber dari sumber wahyu dan risalah kenabian.
Inilah Islam, secara jelas telah menganjurkan kepada ummat manusia terlebih seorang muslim untuk mendasarkan semua aktifitas berpikir dan sikap perilakunya dalam kerangka keimanan yang berlandaskan pada nilai utama kebenaran. Sehingga kerangka pikir dan sikap seorang muslim pastilah harus terikat dengan syariat Allah (kullul af’al attaqayyud biahkaamis syar’i). Sebagaimana penegasan nabi dalam sabdanya diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al Muwatha’ :
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.”
Demikianlah islam yang luhur telah secara sempurna memberikan arahan tentang cara berpikir dan bersikap agar bernilai kebenaran. Inilah islam yang bernilai tinggi, al islam ya’luu walaa yu’laa alaihi. Aamiiin…