Kanal24, Malang – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 kembali menunjukkan angka yang memprihatinkan. Skor IPK Indonesia berada di angka 37 dari 100, jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Timor Leste, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia yang sudah menembus angka di atas 40. Fakta ini menjadi salah satu sorotan utama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Setyo Budiyanto, dalam kuliah tamu bertajuk Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Gerakan Antikorupsi yang digelar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB), Senin (21/7/2025).
“Kita belum pernah mencapai angka di atas 40. Negara-negara tetangga bahkan sudah mendekati 50. Ini bukan hanya tanggung jawab KPK saja, tapi tanggung jawab semua pihak,” tegas Setyo Budiyanto di hadapan sivitas akademika UB.
Menurutnya, rendahnya skor IPK tidak semata-mata mencerminkan lemahnya penindakan, namun juga akumulasi dari melemahnya demokrasi, penegakan hukum, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Dua indikator yang paling rendah nilainya adalah demokrasi dan rule of law, dua pilar utama dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Tak hanya IPK, KPK juga mencatat skor rendah pada Survei Penilaian Integritas (SPI) di lingkungan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Rentang skor SPI berada antara 53–71, dan ditemukan adanya manipulasi data oleh beberapa institusi untuk memperoleh nilai baik secara tidak jujur.
“Dalam survei SPI, ada yang kami temukan mengarahkan responden dan memberikan petunjuk agar menjawab sesuai keinginan pimpinan. Ini justru merusak integritas itu sendiri,” ungkapnya.
Ketua KPK juga menyoroti indeks integritas sektor pendidikan yang skornya masih di bawah 70. Ia menyebut, lemahnya integritas di bidang pendidikan menunjukkan bahwa pembentukan budaya antikorupsi belum meresap ke lingkungan akademik, padahal pendidikan adalah ujung tombak perubahan budaya bangsa.

Indonesia Emas 2045 Terancam Jika Korupsi Tak Dikendalikan
Dalam paparannya, Setyo Budiyanto mengaitkan pentingnya pemberantasan korupsi dengan cita-cita besar menuju Indonesia Emas 2045. Visi Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur tidak akan tercapai bila praktik korupsi masih mengakar dalam sistem.
“Waktu kita tinggal 20 tahun lagi menuju 2045. Jika budaya korupsi masih dibiarkan, maka harapan itu hanya akan jadi mimpi. Reformasi hukum dan perubahan budaya integritas adalah kunci,” tegasnya.
Ia menilai, reformasi hukum di Indonesia berjalan stagnan. Beberapa regulasi penting bahkan belum diperbaharui sejak era awal reformasi. Misalnya, Undang-Undang Tipikor yang belum memasukkan ketentuan trading in influence atau gratifikasi yang terjadi di sektor swasta.
“Bayangkan, ketika seorang pejabat tinggi menekan kampus agar anaknya diterima, itu seharusnya sudah termasuk pengaruh jabatan yang koruptif. Tapi regulasinya belum mengakomodasi,” jelasnya.
Peran Strategis Kampus dalam Pencegahan
Setyo Budiyanto menekankan pentingnya peran kampus sebagai pusat pembentukan integritas. Ia mengapresiasi komitmen Universitas Brawijaya dalam membangun ekosistem antikorupsi di lingkungan akademik, termasuk penerapan sistem gratifikasi dan pembentukan unit pengendali integritas.
“Saya melihat UB sudah memulai banyak hal baik. Tinggal bagaimana komitmen ini terus dijaga, karena budaya antikorupsi dimulai dari hal-hal kecil di kehidupan kampus,” ujarnya.
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D., Med.Sc., menegaskan bahwa seluruh unit kerja di bawah naungan UB telah berkomitmen menerapkan semangat integritas.
“Alhamdulillah, seluruh dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa mendukung reformasi budaya kampus yang antikorupsi. UB siap menjadi mitra strategis KPK dalam pendidikan dan riset pencegahan korupsi,” ujar Prof. Widodo.
Rektor UB juga menyoroti perlunya penyempurnaan manajemen tata kelola agar memberi ruang yang semakin sempit bagi potensi penyimpangan. Ia berharap sinergi dengan KPK terus berlanjut dalam mendorong sistem pendidikan tinggi yang bersih dan berintegritas.
Gratifikasi di Dunia Pendidikan
Salah satu bentuk korupsi yang masih dianggap “biasa” di dunia pendidikan adalah gratifikasi berkedok ucapan terima kasih. Ketua KPK menyebut bahwa pemberian bingkisan kepada dosen atau penguji setelah ujian tugas akhir masih sering terjadi.
“Kalau kebiasaan seperti ini tidak dihentikan, maka sulit membentuk budaya yang sehat. Harus dimulai dari kampus. Pekerjaan profesional tidak perlu dibayar dengan hal-hal semacam itu,” tegasnya.
Untuk itu, KPK mendorong adanya mitigasi internal, termasuk pendampingan kepada mahasiswa agar memahami batas-batas etika akademik dan tidak terjebak pada praktik-praktik koruptif, sekecil apa pun bentuknya.
Kuliah tamu yang dihadiri oleh seluruh jajaran pimpinan dan lembaga internal UB ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan korupsi dari dunia pendidikan. KPK dan Universitas Brawijaya sepakat bahwa perubahan budaya antikorupsi harus dimulai dari ruang-ruang akademik, sebagai investasi moral menuju Indonesia yang lebih bersih dan berkeadilan di masa depan.(Din/Dhi)