Kanal24, Malang – “Dompet Ayah Sepatu Ibu” karya J.S. Khairen adalah kisah fiksi keluarga yang tak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggugah kesadaran sosial pembaca. Lebih dari sekadar novel, buku ini adalah potret haru tentang betapa dalamnya cinta dalam keluarga, meski dibalut oleh keterbatasan dan luka masa lalu.
Narasi yang Mewakili Ribuan Keluarga Indonesia
Dengan latar dua gunung di Sumatra Barat—Gunung Singgalang dan Gunung Marapi—novel ini membawa kita menyelami kehidupan Zenna dan Asrul, dua anak kampung yang lahir dari keluarga yang berbeda namun menghadapi tantangan hidup yang serupa. Zenna kehilangan ayah sejak kecil dan hidup dalam keluarga besar yang nyaris tak mampu memberi ruang untuk dirinya. Asrul hidup bersama ibu dan adiknya setelah ditinggal ayah yang menikah lagi. Keduanya tumbuh dalam peluh, duka, dan keterbatasan. Namun mereka juga tumbuh dengan harapan.
Baca juga:
Empat Hidden Gem Malang untuk Liburan Tenang

Pertemuan mereka di sebuah kampus dan kemudian di Koran Harian Semangat menjadi titik balik dalam hidup. Di sanalah cinta dan cita berkelindan, menguatkan satu sama lain hingga mereka menjelma menjadi sosok dewasa: guru dan kepala sekolah, pasangan suami istri, sekaligus anak-anak yang tetap berbakti kepada orang tua. Namun novel ini tidak berhenti pada akhir bahagia. Sebab hidup tak pernah berhenti memberi ujian—dan “Dompet Ayah Sepatu Ibu” menggambarkannya dengan sangat jujur.
Simbolisme Penuh Makna: Dompet dan Sepatu
Judul novel ini bukan sekadar metafora kosong. Dompet sang ayah bagi Asrul, dan sepatu sang ibu bagi Zenna, adalah simbol kehangatan, keteguhan, dan perjuangan orang tua yang diwariskan secara emosional kepada anak-anak mereka.
“Dompet itu lambang tanggung jawab ayah. Sepatu itu jejak kasih ibu.”
Ketika Asrul akhirnya punya dompet sendiri dari hasil kerja keras, atau ketika Zenna mampu membeli sepatu sendiri setelah ayahnya meninggal sebelum sempat membelikannya, keduanya tidak hanya memeluk kenangan, tapi juga meneruskan cita-cita orang tua yang sempat terhenti. Itu adalah bentuk penghormatan tertinggi yang bisa diberikan anak.
Bahasa yang Hangat, Cerita yang Jujur
J.S. Khairen menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna. Ia menyisipkan bahasa daerah Minang di sejumlah dialog, menciptakan nuansa lokal yang kuat dan membumi. Hal ini menjadi kekuatan tersendiri dalam menyampaikan suasana, nilai-nilai, dan kedalaman budaya yang melekat dalam cerita.
Setiap bab dibuka dengan puisi pendek yang reflektif, menggugah, dan menyentuh. Misalnya:
“Apa material termahal di dunia? Tangis bangga ayah dan ibumu.”
“Ibumu punya retak. Ayahmu punya retak. Memaafkan mereka adalah obat segala obat.”
Kalimat-kalimat ini tak hanya menjadi kutipan viral di media sosial, tetapi juga menggema dalam benak pembaca bahkan setelah halaman terakhir ditutup.
Realisme Sosial yang Menohok
Di balik narasi keluarga, novel ini menyelipkan kritik sosial yang tajam namun empatik. Tentang guru-guru yang dibayar rendah, kemiskinan struktural yang menjebak anak-anak di desa, hingga ketimpangan digitalisasi di pelosok negeri.
Tokoh Asrul yang ternyata terinspirasi dari kisah ayah sang penulis, memberikan kedalaman tersendiri. Ini bukan fiksi yang mengawang-awang. Ini cerita nyata yang dibalut dalam sastra. Tak heran jika atmosfer cerita terasa sangat nyata dan emosional.
Rumah Sebagai Tempat Pulang, Bukan Sekadar Bangunan
Jika harus merangkum pesan utama novel ini dalam satu kata, maka kata itu adalah “pulang”. Pulang ke orang-orang yang mencintai kita. Pulang ke keluarga yang, meski tak sempurna, tetap menyediakan pelukan terhangat.
“Masakan ibu takkan kau temukan di restoran terbaik. Kelakar ayah takkan kau jumpai di panggung paling gemerlap. Untungnya kau punya dua tempat itu sekaligus: rumah. Pulanglah.”
Novel ini menegaskan bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat yang mampu menerima kita seutuhnya—dalam lelah, kecewa, maupun harapan.
Catatan Akhir: Untuk Mereka yang Tengah Berjuang
“Dompet Ayah Sepatu Ibu” adalah novel yang sarat akan nilai-nilai keluarga, perjuangan, dan kemanusiaan. Ia menyentuh, merangkul, sekaligus menguatkan. Khairen menulis dengan hati, dan pembaca akan membacanya juga dengan hati.
Buku ini cocok bagi siapa saja yang tengah merasa lelah dengan hidup, sedang rindu rumah, atau hanya ingin mengingat bahwa semua perjuangan akan bermuara pada satu hal: cinta yang dibangun dari peluh orang tua, dan semangat yang diwariskan pada anak-anaknya.
Baca juga:
Duta Seni Pasuruan Gelar Workshop di TIM Jakarta
Satu kutipan untuk menutup segalanya:
“Tak semua keluarga sempurna, tapi semua cinta bisa sempurna jika kita bersedia berjuang untuk memahaminya.”
Rekomendasi:
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ (5/5)
Buku ini bukan hanya layak dibaca, tetapi juga layak dimiliki. Simpan, baca ulang, dan hadiahkan untuk orang terkasih—terutama ayah dan ibu.