Kanal24, Malang — Kesepakatan perdagangan terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat memantik diskusi hangat di kalangan akademisi dan pengamat politik luar negeri. Perjanjian yang menetapkan tarif timbal balik itu dinilai memperlihatkan ketimpangan posisi tawar Indonesia dalam percaturan diplomasi ekonomi global.
Pengamat politik luar negeri Universitas Brawijaya, Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., menyebut bahwa Amerika Serikat masih sulit dinilai sebagai mitra dagang yang benar-benar reliabel. “Amerika memandang Indonesia belum konsisten menentukan sikap dalam perdagangan internasional. Karena itu, tarif yang mereka terapkan relatif tinggi, sementara kita justru memberi banyak kelonggaran,” jelas Adhi dalam wawancara bersama Kanal24, Jumat (25/07/2025).
Baca juga:
Di Balik 8 Pilar Dagang AS-Indonesia: Diplomasi, Tekanan, atau Kompromi?
Ketimpangan Tarif dan Dampaknya bagi Industri Nasional
Dalam kesepakatan terbaru, Amerika Serikat masih menerapkan tarif hingga 19 persen untuk produk Indonesia. Sebaliknya, Indonesia membuka hampir semua produknya dengan tarif 0 persen. Menurut Adhi, situasi ini menguntungkan pihak luar, namun merugikan sektor industri dalam negeri.
“Secara industri, kita belum bisa mencukupi kebutuhan esensial sehari-hari. Akibatnya, ketergantungan terhadap barang impor, khususnya produk elektronik, sangat tinggi. Barang-barang itu dijual dalam bentuk jadi dengan harga mahal, sehingga keuntungan besar justru diraih perusahaan-perusahaan impor,” ungkapnya.
Ia menambahkan, keterbatasan kapasitas produksi membuat Indonesia berada pada posisi terdesak dalam negosiasi. “Mau tidak mau, pemerintah terpaksa menyetujui skema yang sebenarnya merugikan, karena kita tidak punya banyak pilihan,” lanjutnya.
Kapasitas Diplomasi yang Dinilai Lemah
Adhi menilai akar persoalan tidak hanya terletak pada struktur ekonomi, tetapi juga pada kualitas kepemimpinan diplomasi Indonesia saat ini.
“Menteri Luar Negeri kita sekarang bukan berasal dari lingkungan diplomasi profesional, berbeda dengan pendahulu seperti Marty Natalegawa atau Hassan Wirajuda yang punya kredensial kuat di panggung internasional. Kredensial dan pengalaman itu sangat penting, terutama ketika menghadapi forum negosiasi bilateral yang sarat kepentingan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti orientasi Presiden Prabowo yang hingga kini masih dominan pada agenda domestik. “Belum tampak langkah strategis yang berani dalam bidang politik luar negeri. Keputusan-keputusan besar cenderung diambil tanpa kajian mendalam, sehingga dampak jangka panjangnya kurang terukur,” tegasnya.

Tantangan Kedaulatan Digital
Selain soal tarif, kesepakatan juga mencakup isu transfer data lintas negara. Menurut Adhi, hal ini berpotensi melemahkan kedaulatan digital Indonesia.
“Jika data pribadi warga bisa diakses perusahaan asing, terutama media sosial, mereka dapat mengetahui detail perilaku konsumsi, mulai dari apa yang kita beli hingga apa yang kita lihat setiap hari. Informasi itu bisa digunakan untuk iklan yang terarah, bahkan manipulatif,” jelasnya.
Ia menambahkan, perlindungan data di Amerika jauh lebih kuat dibandingkan Indonesia. “Poin-poin kesepakatan terkait data digital jarang dijelaskan secara terbuka kepada publik. Padahal ini menyangkut privasi warga negara yang seharusnya dilindungi,” katanya.
Adhi mengingatkan, kelemahan regulasi nasional membuat Indonesia berisiko menghadapi pencurian data dalam skala besar. “Tanpa sistem pengawasan yang kuat, kita akan terus tertinggal dan masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan,” tandasnya.
Perlu Evaluasi Strategi Politik Luar Negeri
Melihat dinamika yang terjadi, Adhi menilai Presiden Prabowo perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi diplomasi dan struktur kepemimpinan di bidang hubungan luar negeri.
“Kita membutuhkan diplomat yang benar-benar punya kapasitas negosiasi internasional dan pengalaman luas. Tanpa itu, Indonesia akan terus kalah posisi dalam perundingan global,” ucapnya.
Ia juga menegaskan pentingnya mengembalikan orientasi politik luar negeri pada kepentingan rakyat. “Kebijakan luar negeri harus mampu menjaga kedaulatan ekonomi dan digital kita. Jangan sampai rakyat dirugikan hanya karena pemerintah ingin cepat mencapai kesepakatan,” imbuhnya.
Baca juga:
Trump Ancam Tarif Impor, Indonesia Kena Imbas BRICS
Refleksi dari Kebijakan Antara AS dan Indonesia
Menurut Adhi, kesepakatan dengan Amerika Serikat ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan Prabowo dalam merumuskan kebijakan luar negeri ke depan.
“Bila diplomasi kita hanya bersifat pragmatis tanpa visi jangka panjang, maka ketimpangan akan terus terjadi. Indonesia akan selalu berada pada posisi defensif, baik dalam urusan ekonomi maupun kedaulatan digital,” pungkasnya.
Ia menutup dengan seruan agar pemerintah berani menempuh langkah yang lebih tegas. “Saatnya kita menegakkan politik luar negeri yang bebas aktif namun juga konsisten, berorientasi jelas, dan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat,” katanya menegaskan. (nid)