Kanal24, Malang – Acara bertajuk “Pelestarian Topeng Malang Sebagai Ekspresi 7 Talenta Down Syndrome: Harmonisasi dalam Tradisi, Tari, dan Seni” yang digelar Sanggar Nareswari menghadirkan sebuah momentum berharga bagi inklusi budaya di Indonesia. Bertempat di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Selasa (29/07/2025), acara ini menampilkan anak-anak dengan down syndrome yang tidak hanya menunjukkan kemampuan menari dan bermusik, tetapi juga mempersembahkan hasil karya mereka berupa topeng dan busana batik. Kehadiran mereka di atas panggung menjadi simbol kuat bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya sekaligus berperan aktif dalam melestarikan seni tradisi Nusantara.
Seni Topeng Malang dari Tangan Anak Istimewa
Dalam pementasan ini, 70 persen properti yang digunakan, termasuk topeng dan kain batik, dibuat langsung oleh para peserta. Djoko Rendy, Ketua Yayasan Dmart Tithiek Tenger yang menaungi Sanggar Nareswari, menjelaskan bahwa persiapan acara ini memakan waktu lebih dari sembilan bulan.
Baca juga:
Musik Kalimba Jagung Sulaihah Hidupkan Tradisi

“Anak-anak istimewa ini juga punya hak berkesenian. Kali pertama mereka belajar seni tari, harapannya agar semakin cinta tanah air. Beberapa topeng dan kostum adalah hasil karya mereka sendiri. Kami ingin menunjukkan bahwa seni bisa menjadi ruang inklusif,” ujar Djoko Rendy.
Ia menambahkan, kunci keberhasilan pertunjukan ini terletak pada kedisiplinan dan dukungan penuh dari orang tua serta pendamping. “Marilah kita cintai budaya kita, khususnya seni. Yang lupa mari kita ingatkan, yang tertinggal mari kita jemput,” tambahnya.
Dukungan Luas dari Masyarakat dan Pemerintah
Sebagai ketua panitia, Ndaru Lazarus menuturkan bahwa acara ini sekaligus menjadi perayaan setahun perjalanan Sanggar Nareswari. Ia menyampaikan bahwa dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, hingga sektor swasta.
“Kami awalnya hanya ingin menampilkan hasil latihan. Tapi kemudian ada kesempatan dari BPKW wilayah 11, lalu kami ajukan proposal. Syukurlah mendapat dukungan. Selain tujuh anak penyandang down syndrome sebagai pemeran utama, ada sekitar 26 sampai 28 peserta lain dari SLB se-Malang Raya,” jelas Ndaru.
Acara ini juga melibatkan kolaborasi dengan hotel Grand Mercure Malang Mirama, serta menampilkan berbagai produk seni lain seperti lukisan batik tulis, boga, hingga diamond painting karya anak-anak berkebutuhan khusus.
Haru dan Kebanggaan Orang Tua
Kebahagiaan juga terpancar dari wajah para orang tua. Titik Hidayati, ibu dari Faza Aulia—salah satu peserta dengan down syndrome—tak kuasa menyembunyikan rasa bangganya.
“Alhamdulillah senang sekali, meski kadang latihannya semaunya sendiri. Saat tampil, dia justru bisa improvisasi dan terlihat menikmati. Saya sampai terharu melihat banyak yang mendukung, bahkan saat sebelumnya dia ikut Wonderful Model Indonesia di Jakarta, dukungan dari peserta lain luar biasa,” ungkap Titik dengan mata berkaca-kaca.
Menurutnya, pengalaman ini membuktikan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mampu menunjukkan prestasi jika diberi kesempatan dan diterima oleh lingkungan.

Baca juga:
Empat Hidden Gem Malang untuk Liburan Tenang
Seni Sebagai Jalan Inklusi
Acara ini bukan sekadar pementasan seni, melainkan juga pesan kuat tentang inklusi dan penghargaan terhadap keberagaman. Melalui topeng Malang, sebuah warisan budaya yang kental akan nilai tradisi, anak-anak istimewa membuktikan bahwa mereka dapat menjadi bagian penting dalam menjaga dan melestarikan budaya bangsa.
Pertunjukan “7 Talenta Down Syndrome” di Taman Krida Budaya Jawa Timur bukan hanya sekadar hiburan, melainkan wujud nyata bahwa seni adalah ruang tanpa sekat. Dukungan dari berbagai pihak memperlihatkan bahwa inklusi bukanlah mimpi, melainkan bisa terwujud melalui kerja bersama. Seperti disampaikan Djoko Rendy, mari mencintai budaya Nusantara dengan memberi ruang bagi siapa pun untuk berkarya, tanpa terkecuali. (nid/dht)