Kanal24, Malang – Krisis ekonomi dan tekanan keuangan bisa meninggalkan luka tak kasat mata. Tidak semua luka berasal dari kehilangan uang atau aset. Dalam banyak kasus, tekanan ekonomi juga menimbulkan gangguan psikologis yang dikenal sebagai trauma finansial.
Berbeda dari stres keuangan biasa, trauma ini merujuk pada dampak emosional dan psikologis jangka panjang akibat pengalaman finansial yang berat, seperti kehilangan pekerjaan, terjerat utang, kerugian usaha, atau krisis ekonomi yang berlangsung lama.
Ironisnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalaminya.
Baca juga:
Strategi Bertahan di Tengah Krisis Ekonomi 2025
Takut Mengeluarkan Uang
Salah satu tanda umum trauma finansial adalah rasa takut berlebihan saat harus mengeluarkan uang, bahkan untuk kebutuhan dasar. Ketakutan ini biasanya dipicu oleh pengalaman pahit di masa lalu, seperti gagal bayar atau jatuh miskin.
Perasaan cemas bahwa masa sulit akan kembali membuat seseorang cenderung menimbun uang sebagai bentuk pertahanan. Menyimpan uang menjadi cara mereka untuk merasa aman, meski mengorbankan kenyamanan hidup sehari-hari.
Sulit Menikmati Hasil Usaha Sendiri
Ada juga yang terus merasa bersalah saat ingin menikmati hasil jerih payah sendiri. Meskipun memiliki kekayaan atau penghasilan yang stabil, mereka merasa tak layak untuk bersantai atau membeli sesuatu untuk diri sendiri.
Perasaan tidak aman secara finansial menghantui tanpa alasan logis. Ancaman kehilangan pekerjaan atau datangnya krisis ekonomi seolah menjadi bayangan yang terus mengintai.
Belanja Impulsif sebagai Pelarian
Berbeda dari dua pola sebelumnya, sebagian orang justru mengalami reaksi sebaliknya. Mereka terdorong untuk belanja secara impulsif dan berlebihan.
Dalam konteks ini, belanja bukan sekadar memenuhi kebutuhan, melainkan menjadi bentuk pelarian dari tekanan batin. Aktivitas konsumtif digunakan sebagai mekanisme koping untuk mengalihkan diri dari rasa cemas atau trauma masa lalu.
Barang-barang yang dibeli pun sering kali bukan kebutuhan primer, tetapi sekadar bentuk pelampiasan emosional.
Sulit Membuat Keputusan Keuangan
Ketika seseorang merasa sangat takut mengambil keputusan keuangan, itu bisa jadi indikasi trauma finansial. Pengalaman buruk di masa lalu bisa membuat mereka terus-menerus ragu dan terjebak dalam siklus overthinking.
Bahkan untuk keputusan kecil sekalipun, seperti memilih produk tabungan atau berinvestasi dalam jumlah minim, mereka bisa merasa kewalahan dan akhirnya tidak melakukan apa-apa.
Keraguan yang berkepanjangan ini juga mengikis rasa percaya diri dalam mengelola keuangan pribadi.
Enggan Membicarakan Soal Uang
Bentuk trauma finansial lain yang sering terjadi adalah ketidaknyamanan saat berbicara tentang keuangan dengan orang terdekat. Entah itu pasangan, keluarga, atau sahabat, mereka memilih diam karena takut dihakimi, dianggap tidak cakap, atau merasa malu atas pengalaman buruk di masa lalu.
Padahal dalam hubungan rumah tangga maupun persiapan menuju pernikahan, diskusi soal keuangan adalah fondasi penting. Jika trauma tidak ditangani, ketidakterbukaan ini bisa memicu masalah baru dalam relasi.
Baca juga:
Kemenperin Siapkan Insentif Kawasan Industri Tematik
Perlu Penanganan Serius
Trauma finansial bukan hal sepele. Dampaknya tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi, tapi juga relasi sosial, pekerjaan, bahkan kesehatan mental.
Jika kamu merasa mengalami satu atau lebih dari lima tanda di atas, penting untuk mencari bantuan profesional. Terapis atau konselor keuangan dapat membantu menyembuhkan luka lama dan membangun kembali hubungan yang sehat dengan uang.
Keuangan yang sehat tidak hanya soal angka, tetapi juga soal perasaan aman dan tenang dalam mengelolanya. (han)