Kanal24, Malang – Penetapan tarif impor sebesar 19% untuk barang Indonesia ke Amerika Serikat (AS) memunculkan pro dan kontra di kalangan pelaku usaha dan pengamat ekonomi. Meski angka ini lebih rendah dari ancaman tarif sebelumnya yang mencapai 32%, kebijakan tersebut tetap dianggap memiliki potensi risiko besar bagi beberapa sektor, sekaligus peluang untuk mendorong reformasi ekonomi dan diversifikasi pasar ekspor.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan ini bisa dilihat melalui tiga skenario: negatif, netral, dan positif.
Baca juga:
Semarak Merah Putih, Pedagang Bendera Raup Jutaan Rupiah
Skenario Negatif: Sektor Padat Karya Tertekan
Dalam skenario terburuk, sektor-sektor padat karya seperti udang, alas kaki, dan tekstil akan menjadi yang paling terdampak. Asosiasi petambak udang memperkirakan ekspor ke AS bisa anjlok hingga 30%, mengancam lebih dari satu juta tenaga kerja.
“Jika volume ekspor ke AS turun 20–30%, dampak terhadap PDB nasional diperkirakan sekitar 0,37–0,56 poin, membuat pertumbuhan tahunan bisa terkoreksi ke kisaran 4,3–4,5%,” ujar Achmad, Selasa (12/8/2025).
Ia menambahkan, pembukaan keran impor produk AS dalam jumlah besar juga berpotensi memperlebar defisit perdagangan, melemahkan nilai tukar rupiah, serta memberi tekanan pada industri lokal yang belum siap bersaing.
Skenario Netral: Diversifikasi Pasar dan Adaptasi Kebijakan
Dalam proyeksi moderat, dampak kebijakan ini bisa diminimalisir melalui diversifikasi pasar ekspor. Dengan kontribusi AS hanya 9,9% dari total ekspor Indonesia, penurunan ekspor diperkirakan terbatas di angka 15%, dengan dampak terhadap PDB sekitar 0,28 poin.
“Pemerintah dan pelaku usaha mulai mengalihkan ekspor ke China, Timur Tengah, Kanada, dan Uni Eropa. Stimulus fiskal, pelonggaran suku bunga BI, dan proyek infrastruktur akan menjaga daya dorong ekonomi domestik,” kata Achmad.
Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi semester II 2025 diperkirakan tetap berada di kisaran 4,8–4,9%, dengan konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai penopang utama.
Skenario Positif: Kepastian Tarif Picu Investasi
Sementara itu, skenario optimis memandang tarif 19% justru membawa kepastian hukum dan pasar yang sebelumnya terhambat oleh ancaman tarif 32%. Kepastian ini dinilai mampu memulihkan gairah investasi asing dan domestik.
Baca juga:
Blitar Naik Kelas dalam Inovasi Daerah, Kerja Sama UB Hantarkan Raih IGA 2024
“Dengan tarif yang lebih jelas dan kompetitif dibandingkan negara pesaing utama, simulasi Dewan Ekonomi Nasional memproyeksikan adanya tambahan 0,5 poin pada pertumbuhan PDB,” papar Achmad.
Jika penurunan ekspor ke AS hanya sekitar 10% atau stabil, pertumbuhan ekonomi semester II 2025 bisa mendekati 5,1%. Faktor lain yang menguatkan proyeksi ini adalah reformasi struktural dan transformasi digital yang terus digalakkan pemerintah, sejalan dengan rekomendasi Bank Dunia.
Ke depan, keputusan ini akan menjadi ujian bagi ketahanan sektor ekspor Indonesia sekaligus peluang untuk mengakselerasi strategi diversifikasi pasar dan reformasi ekonomi yang lebih luas. (nid).