Kanal24, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR pada Jumat (15/8/2025) menyampaikan kabar gembira: tingkat pengangguran nasional disebutnya berada di level terendah sejak krisis moneter 1998. Klaim tersebut merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 sebesar 4,76 persen.
Namun, di tengah angka statistik yang tampak melegakan, realita di lapangan menunjukkan cerita berbeda. Gelombang PHK, daya beli yang melemah, hingga job fair yang selalu penuh sesak dengan pencari kerja menandakan bahwa persoalan pengangguran masih menjadi tantangan besar.
Baca juga:
Dana Abadi UB: Investasi Ilmu Pengetahuan untuk Masa Depan
Statistik Turun, Namun Tidak Mencerminkan Realita
Data BPS memang menunjukkan penurunan tipis TPT sebesar 0,06 persen dibanding Februari 2024. Namun, pengamat ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Nur Effendi, mengingatkan bahwa penurunan ini lebih dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah angkatan kerja ketimbang berkurangnya jumlah pengangguran. Dengan kata lain, angka bisa tampak lebih baik tanpa disertai perbaikan nyata.
“Pembaginya yang bertambah besar, sehingga hasilnya mengecil. Itu bukan berarti jumlah pengangguran betul-betul turun,” jelas Tadjudin.
Indonesia Masih Tertinggi di ASEAN
Meski angka TPT Indonesia tercatat menurun, secara regional Indonesia justru masih mencatatkan jumlah pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Trading Economics, Filipina, Malaysia, Singapura, bahkan Brunei memiliki jumlah pengangguran lebih rendah secara proporsional dibanding Indonesia.
Job Fair Membludak, Pencari Kerja Mengeluh
Realita di lapangan menunjukkan hal sebaliknya dari klaim pemerintah. Bursa kerja di berbagai daerah selalu dipadati ribuan pencari kerja. Di Bekasi, job fair sempat ricuh akibat peserta yang membludak. Sementara di Jakarta, Job Fest 2025 juga dihadiri ratusan orang sejak pagi.
Maulana Ibrahim (23), sarjana komunikasi, mengaku masih sulit mendapatkan pekerjaan. “Faktanya di lapangan banyak sekali yang susah cari kerja,” ujarnya. Hal serupa disampaikan Yuda (23), lulusan SMA yang berharap mendapat pekerjaan lebih layak namun belum juga diterima di perusahaan manapun.
PHK Naik, Daya Beli Turun
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah korban PHK Januari–Juli 2025 mencapai 43.385 orang, naik 32,19 persen dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini disebut Apindo sebagai “fenomena luar biasa” yang dipicu oleh gejolak ekonomi global, turunnya harga komoditas, dan berkurangnya permintaan produk industri padat karya.
Efek domino terjadi: kelas menengah kehilangan daya beli, industri kehilangan pasar, lalu semakin banyak pekerja kehilangan pekerjaan. “Ini vicious cycle. Kalau tidak ditangani, akan makin memperburuk kondisi,” kata Bob Azam dari Apindo.
Baca juga:
Pengeluaran Pendidikan Tekan Minat Menabung Warga Pada Pertengahan 2025
Fenomena Gunung Es Pengangguran
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menambahkan bahwa gelombang PHK yang dilaporkan hanya puncak dari gunung es. Banyak kasus tak tercatat, terutama akibat deindustrialisasi dan beban non-ekonomi seperti pungutan liar, korupsi, hingga biaya keamanan yang membelit industri dalam negeri.
“Realitanya jauh lebih buruk dari angka resmi. Klaim pengangguran turun itu tidak menggambarkan kenyataan di lapangan,” ujarnya.
Klaim pemerintah soal turunnya angka pengangguran memang memiliki dasar statistik. Namun, ketika dibandingkan dengan kondisi lapangan—job fair yang membludak, PHK yang meningkat, dan daya beli yang melemah—klaim itu justru dipertanyakan. Realita menunjukkan bahwa tantangan pengangguran di Indonesia masih jauh dari selesai. (nid)
