Kanal24, Malang – Banyak orang merasa selalu kesal atau emosi setiap kali berbicara dengan orang tua. Perasaan ini muncul bahkan ketika sebenarnya topik yang dibicarakan tidak terlalu serius. Kondisi ini sering membuat seseorang bingung, karena di satu sisi mereka ingin dekat dengan orang tua, tetapi di sisi lain emosi yang muncul terasa sulit dikendalikan. Fenomena ini bisa berkaitan dengan luka lama yang belum terselesaikan, yang dalam psikologi sering disebut sebagai unfinished business.
Luka Lama yang Belum Usai
Unfinished business adalah perasaan atau pengalaman masa kecil yang menyakitkan, tetapi tidak pernah benar-benar diselesaikan. Luka ini bisa berupa emosi yang ditekan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, atau perasaan tidak didengar. Karena tidak pernah tuntas, luka tersebut akan terus terbawa hingga dewasa. Saat berinteraksi dengan orang tua, luka itu bisa terpicu kembali sehingga menimbulkan reaksi emosi yang berlebihan.
Baca juga:
Kerja Lama Tak Jamin Produktivitas Tinggi

Misalnya, seorang anak yang dulu sering dimarahi ketika mengungkapkan pendapat akan terbiasa diam dan menahan diri. Ketika dewasa, setiap kali orang tua berbicara dengan nada keras, ia bisa langsung merasa terancam dan marah. Reaksi ini bukan hanya terhadap situasi sekarang, melainkan juga terhadap ingatan masa lalu yang belum pulih.
Ciri-Ciri Unfinished Business dengan Orang Tua
Ada beberapa tanda yang bisa membantu mengenali apakah kita memiliki luka yang belum selesai dengan orang tua. Beberapa di antaranya adalah:
- Mudah tersinggung setiap kali mereka berkomentar. Bahkan kalimat sederhana bisa terasa menyakitkan.
- Sulit membuka komunikasi yang mendalam karena merasa tidak aman atau takut disalahkan.
- Perasaan bersalah yang berlebihan ketika sedang marah, seolah-olah tidak pantas untuk memiliki emosi negatif terhadap orang tua.
- Terlalu sensitif terhadap kritik sehingga sering menafsirkan ucapan orang tua sebagai bentuk serangan pribadi.
- Menghindari interaksi karena merasa setiap percakapan akan berakhir dengan konflik.
Jika tanda-tanda ini muncul berulang kali, bisa jadi ada luka lama yang masih tersimpan dan belum terselesaikan.
Penyebab Luka Emosional dengan Orang Tua
Luka emosional biasanya terbentuk sejak masa kecil. Beberapa penyebab yang umum terjadi antara lain:
- Emosi yang ditekan sejak kecil. Banyak anak yang tidak diberi ruang untuk mengekspresikan marah atau sedih, sehingga terbiasa menahannya.
- Pola asuh keras atau dingin. Orang tua yang jarang menunjukkan kasih sayang bisa membuat anak merasa tidak berharga.
- Kurangnya ruang untuk bicara. Ketika protes atau pendapat dianggap melawan, anak belajar untuk diam meski hatinya terluka.
- Trauma yang diwariskan. Orang tua mungkin membawa luka dari masa kecil mereka sendiri, lalu tanpa sadar menurunkannya pada anak.
Penyebab-penyebab ini membuat anak tumbuh dengan membawa emosi yang tidak terselesaikan. Akhirnya, emosi tersebut muncul kembali setiap kali ada pemicu yang mirip dengan pengalaman masa lalu.
Dampak Jika Dibiarkan
Jika luka lama ini tidak disadari dan dibiarkan, dampaknya bisa cukup serius. Hubungan dengan orang tua bisa menjadi tegang, penuh konflik, bahkan menjauh. Tidak jarang, seseorang akhirnya memilih benar-benar memutus komunikasi untuk melindungi dirinya.
Selain itu, unfinished business juga bisa berdampak pada kehidupan lain di luar keluarga. Misalnya, kesulitan membangun kepercayaan dengan pasangan, mudah tersinggung dalam pertemanan, atau selalu merasa cemas dalam lingkungan kerja. Luka masa kecil yang tidak tuntas bisa membentuk pola komunikasi yang berulang dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Psikolog keluarga menyebut kondisi ini sebagai luka lintas generasi atau intergenerational trauma. Artinya, trauma atau pola yang tidak sehat bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika tidak disadari, anak-anak dari generasi berikutnya juga bisa merasakan dampaknya.
Langkah untuk Menyembuhkan
Menyembuhkan luka lama memang bukan hal yang mudah. Proses ini butuh waktu, kesabaran, dan keberanian untuk menghadapi perasaan yang tidak nyaman. Namun ada beberapa langkah sederhana yang bisa mulai dilakukan:
- Menyadari perasaan. Jangan menolak atau mengabaikan emosi yang muncul. Sadari bahwa marah atau sedih adalah hal yang wajar.
- Validasi inner child. Akui bahwa diri kecilmu pernah terluka dan butuh perhatian. Memberikan ruang untuk merasakan kembali adalah langkah penting untuk penyembuhan.
- Menulis atau journaling. Menuangkan emosi dalam tulisan bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dirasakan.
- Membatasi interaksi. Jika percakapan terlalu menyakitkan, tidak apa-apa untuk menjaga jarak sementara demi kesehatan mental.
- Mencari bantuan profesional. Konseling dengan psikolog atau terapis bisa membantu memproses emosi dengan cara yang lebih sehat.
Baca juga:
Pemerintah Siapkan Kenaikan Bertahap Iuran BPJS
Perlu dipahami bahwa tujuan dari langkah-langkah ini bukan untuk menyalahkan orang tua, melainkan untuk menyembuhkan diri sendiri. Dengan begitu, hubungan yang lebih sehat bisa terbangun, baik dengan orang tua maupun dengan orang lain di sekitar kita.
Berdamai dengan Diri dan Masa Lalu
Pada akhirnya, memahami bahwa emosi yang muncul bukan semata karena kejadian saat ini, melainkan juga akibat luka lama, bisa membantu kita lebih bijak dalam merespons. Dengan menyadari, menerima, dan perlahan menyembuhkan luka tersebut, kita bisa membangun hubungan yang lebih sehat, tidak hanya dengan orang tua, tetapi juga dengan diri sendiri. (han)