Kanal24, Malang – Realitas politik Indonesia saat ini menunjukkan adanya jarak antara pesan pemerintah dengan kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Verdy Firmantoro, S.I.Kom., M.I.Kom., Pengamat Politik Universitas Brawijaya, melalui wawancara eksklusif dengan Kanal24 pada Rabu (27/08/2025).
Menurut Verdy, fenomena ini dalam kajian akademik disebut message misalignment, yakni kondisi ketika pesan yang disampaikan pejabat publik tidak sesuai dengan harapan publik. Ia mencontohkan, pasca pandemi kondisi ekonomi masyarakat masih jauh dari kata pulih. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, sektor informal belum stabil, dan harga kebutuhan pokok fluktuatif. Namun, kebijakan yang diluncurkan pemerintah kerap kali justru tidak menyentuh permasalahan tersebut.
Baca juga:
Dosen HI UB Hadiri “1000 Watermelon Flotilla” di Malaysia

“Harapan masyarakat sederhana, yakni adanya kebijakan yang menjawab kebutuhan sehari-hari. Tetapi yang muncul justru keputusan-keputusan politik yang tidak relevan. Akibatnya, publik merespons dengan kritik bahkan resistensi,” jelasnya.
People Power dan Ruang Digital
Verdy menilai, di era digital masyarakat tidak lagi menjadi penonton pasif. Keterbukaan informasi membuat publik memiliki akses langsung untuk mengkritisi, menolak, atau bahkan memengaruhi arah kebijakan. Hal ini menumbuhkan fenomena people power yang lahir dari kekuatan ruang digital.
“Keputusan pemerintah hari ini bisa berubah hanya karena tekanan viralitas. Ada sisi positif karena publik dapat mengoreksi kebijakan yang dianggap tidak adil. Tetapi di sisi lain, ini menunjukkan kelemahan sistem hukum kita. Aparat cenderung menunggu viral dulu sebelum menindak,” ujarnya.
Menurut Verdy, kondisi ini memperlihatkan bahwa masyarakat semakin kritis dan tidak segan melawan kebijakan yang dianggap tidak adil. “Kalau komunikasi publik tidak sensitif, kebijakan bisa dianggap menyalahi kepentingan masyarakat. Pada akhirnya muncul distrust yang melemahkan legitimasi pemerintah,” tegasnya.
Kebutuhan Political Sensitivity
Dalam penjelasannya, Verdy menekankan pentingnya political sensitivity dalam komunikasi publik pejabat negara. Ia menilai banyak pejabat yang hanya menyampaikan pernyataan asal-asalan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap psikologi publik.
“Komunikasi publik tidak boleh serampangan. Harus ada sensitivitas politik, melihat denyut aspirasi masyarakat. Tidak cukup hanya menjawab seadanya, tetapi harus ada empati dan goodwill. Masyarakat butuh pejabat yang bukan hanya komunikator, melainkan problem solver,” paparnya.
Representasi Substantif, Bukan Formalistik
Lebih jauh, Verdy menyoroti gaya komunikasi pemerintah yang masih bersifat formalistic representation. Artinya, pejabat hanya menyampaikan informasi secara formal untuk menggugurkan kewajiban, bukan menjawab persoalan rakyat.
Baca juga:
Membaca Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa
“Contohnya, ketika ada isu pajak atau harga kebutuhan pokok. Pemerintah sering kali hanya menjawab secara retoris agar tidak terjadi kegaduhan, tetapi implementasinya tidak menyelesaikan masalah. Padahal yang dibutuhkan masyarakat adalah representasi substantif, bukan formalitas belaka,” jelasnya.
Menurut Verdy, jika pola ini terus dipertahankan, resistensi publik akan semakin besar. Bahkan ada potensi masyarakat mendelegitimasi kepemimpinan dan kebijakan negara. “Legitimasi pemerintah bergantung pada rakyat. Jika rakyat merasa tidak diwakili, maka kekuasaan akan kehilangan makna,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatan komunikasi publik dengan lebih empatik, sensitif, dan substansial. “Jika tidak, jarak antara pemerintah dan rakyat akan semakin melebar. Akibatnya, kebijakan negara bukan hanya ditolak, tetapi bisa memicu konflik sosial yang lebih besar,” pungkas Verdy. (din/nid)