Kanal24, Malang – Tawa biasanya identik dengan keceriaan, kelegaan, bahkan energi positif yang bisa menular. Namun, di lingkungan kerja, tidak semua tawa lahir dari keikhlasan. Ada jenis tawa yang disebut sebagai ketawa karier—tawa yang hadir bukan karena lelucon lucu, melainkan karena tekanan sosial agar karier tetap aman.
Hal seperti ini kerap terjadi di berbagai perusahaan, terutama ketika atasan melontarkan candaan. Meski lelucon itu hambar, karyawan merasa wajib tertawa demi menjaga hubungan baik dan menunjukkan loyalitas. Mekanisme ini sebenarnya merupakan bentuk surface acting, yakni memalsukan emosi positif seperti senyum dan tawa, hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial di kantor.
Baca juga:
Berbagai Macam Tradisi Maulid Nabi di Nusantara
Sayangnya, ketawa karier justru melelahkan. Studi yang dikutip Business Insider menunjukkan, paksaan untuk tertawa pada lelucon yang tidak lucu berkorelasi dengan meningkatnya kelelahan emosional sekaligus menurunkan kepuasan kerja. Kelelahan ini bisa ditandai dengan sulit fokus, cepat tersinggung, hingga muncul rasa terasing dari pekerjaan. Dalam jangka panjang, kondisi itu bisa memicu keinginan resign.
Di Indonesia, beban tersebut makin berat karena faktor budaya. Relasi kuasa yang kaku membuat bawahan merasa lebih terikat pada “aturan tak tertulis”: kalau bos tertawa, semua ikut tertawa. Dalam kerangka hierarki seperti ini, menahan tawa dianggap menentang, sedangkan ikut tertawa meski terpaksa dipersepsikan sebagai tanda loyalitas. Alih-alih mencairkan suasana, kondisi ini justru menambah tekanan psikologis.
Padahal, humor sejatinya memiliki banyak manfaat di dunia kerja. Riset Harvard Business Review menunjukkan, karyawan yang menonton klip komedi sebelum bekerja bisa 10 persen lebih produktif dibanding mereka yang tidak. Tawa juga terbukti menurunkan stres, melenturkan otot, serta meningkatkan hormon bahagia seperti endorfin, dopamin, dan oksitosin. Lebih jauh, humor yang tepat mempererat hubungan antarpegawai dan memantik ide-ide kreatif.
Namun, humor yang dipaksakan jelas berbeda dampaknya. Sebuah penelitian di Cerebral Cortex (2015) menyebutkan, tertawa palsu dan tertawa tulus direspons otak secara berbeda. Tertawa palsu lebih banyak mengaktifkan area otak yang berkaitan dengan penafsiran niat orang lain, sehingga justru memunculkan rasa curiga. Artinya, atasan yang mendengar tawa palsu dari bawahannya bisa saja menafsirkan hal lain, bukan sekadar menganggapnya sebagai bentuk apresiasi.
Karena itu, peneliti menekankan pentingnya kualitas humor di kantor. Pemimpin sebaiknya melontarkan lelucon seperlunya, yang relevan dan benar-benar lucu, bukan memaksa karyawan untuk selalu tertawa. Tawa tulus muncul spontan, bukan serentak dan setengah hati. Humor seharusnya menjadi jembatan komunikasi, bukan ujian loyalitas.
Bagi karyawan, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga performa. Tidak perlu selalu ikut tertawa jika lelucon memang tidak lucu. Ada cara lain untuk meredakan ketegangan, seperti berbincang santai dengan rekan kerja atau menciptakan humor internal yang lebih sehat.
Tawa adalah vitamin bagi pikiran, tetapi bila dipaksa justru menjadi racun. Humor yang dikelola dengan bijak akan menjaga mesin kantor tetap berjalan mulus. Sebaliknya, ketawa karier hanya akan membuat mesin itu aus dan menguras energi di tengah jalan. (dht)