Kanal 24, Malang — Gejolak politik dan sosial yang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir diperkirakan bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini disampaikan oleh Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, yang menilai proyeksi optimistis pemerintah sulit tercapai bila stabilitas tidak segera dipulihkan.
Menurut Huda, prediksi lembaga internasional yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4,7 persen pada 2025 masih terlalu tinggi. Ia menilai angka itu bisa lebih rendah apabila gelombang demonstrasi terus berlangsung dan pemerintah gagal menjaga suasana kondusif.
Baca juga:
Pemerintah Yakinkan Investor: Ekonomi RI Aman, Satgas PHK Dibentuk
“Pertumbuhan ekonomi saya rasa akan jauh lebih rendah dibandingkan prediksi lembaga internasional. Tentu dengan asumsi pemerintah tidak otak-atik data ekonomi seperti yang dilakukan di triwulan II 2025,” kata Huda, Senin (1/9/2025).
Investasi Terhambat dan Lapangan Kerja Terbatas
Dalam penjelasannya, Huda menyoroti peran investasi sebagai motor penggerak ekonomi yang rentan terganggu akibat kondisi politik yang memanas. Investor, baik dari dalam maupun luar negeri, cenderung menahan keputusan masuk ketika melihat situasi keamanan yang tidak menentu.
“Ekonomi Indonesia akan lebih melambat ketika tidak ada investasi masuk. Dunia usaha juga waswas dampak demo makin meluas. Investasi pasti akan berkurang, ketersediaan lapangan kerja akan terbatas,” ujarnya.
Kondisi ini tentu berdampak langsung kepada masyarakat, terutama kalangan pekerja. Minimnya investasi bisa memperlambat penciptaan lapangan kerja baru, sementara di sisi lain perusahaan yang sudah ada menghadapi tekanan operasional. Akibatnya, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa meningkat, memperburuk daya beli masyarakat.
Kepercayaan Investor Terkikis
Huda juga menilai ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi dan mengelola aksi protes memperburuk citra Indonesia di mata investor. Ia menegaskan bahwa dunia usaha akan berpikir ulang untuk menanamkan modal ketika melihat gejolak sosial berkepanjangan.
“Saya yakin investor tidak akan percaya lagi. Akibatnya investor akan mengurungkan niat berinvestasi di Indonesia, kecuali investor yang memang bagian dari oligarki pemerintah,” ucapnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa masalah kepercayaan tidak hanya datang dari sisi keamanan, tetapi juga dari persepsi terhadap kredibilitas pemerintah. Bila investor menganggap pemerintah tidak responsif terhadap suara masyarakat, keengganan untuk masuk ke pasar Indonesia akan semakin besar.
Manipulasi Data Jadi Sorotan
Lebih jauh, Huda menyoroti adanya dugaan manipulasi data ekonomi oleh pemerintah yang justru bisa menjadi bumerang. Menurutnya, publik dan investor semakin kehilangan keyakinan ketika data yang dirilis tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Kondisi Indonesia seperti sekarang ini timbul dari kondisi masyarakat yang tengah kesulitan, tetapi dikatakan oleh Badan Pusat Statistik ekonomi Indonesia justru meningkat. Padahal kenyataannya, ekonomi masyarakat Indonesia tengah terpuruk dengan semakin banyak PHK, harga barang semakin melejit, dan berbagai indikator lainnya,” jelasnya.
Ia memperingatkan bahwa pengaburan fakta ekonomi justru bisa menimbulkan bom waktu. “Pengaburan fakta oleh pemerintah bisa menimbulkan bom waktu yang meledak, bukan oleh pemerintah, tapi oleh rakyat yang marah,” pungkas Huda.
Kontras dengan Optimisme Bank Indonesia
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) justru menunjukkan nada optimistis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2025. Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di atas titik tengah kisaran 4,6 hingga 5,4 persen.
“Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025 diperkirakan akan berada di atas titik tengah kisaran 4,6 sampai 5,4 persen,” kata Perry dalam konferensi pers RDG BI Agustus 2025.
Optimisme BI didasarkan pada realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 yang mencapai 5,12 persen year on year (yoy), lebih tinggi dari triwulan I 2025 yang sebesar 4,87 persen yoy. Perry menjelaskan, peningkatan mobilitas masyarakat dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama, disertai sinyal positif dari penanaman modal.
“Kenaikan pertumbuhan ekonomi ditopang oleh investasi sejalan dengan penanaman modal yang tumbuh positif dan konsumsi rumah tangga seiring lebih tingginya mobilitas masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, ekspor barang dan jasa juga tumbuh kuat, terutama karena adanya antisipasi terhadap kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat.
Perbedaan Pandangan
Kontras antara analisis ekonom independen dan lembaga resmi mencerminkan perbedaan sudut pandang dalam membaca situasi. Huda lebih menyoroti risiko ketidakstabilan sosial politik yang bisa menekan investasi dan menggerus daya beli masyarakat. Sementara BI melihat adanya tren pemulihan ekonomi dari sisi konsumsi, investasi, dan ekspor.
Meski berbeda, kedua pandangan ini sama-sama menegaskan bahwa masa depan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada stabilitas dalam negeri. Bila gejolak sosial dan politik tidak segera teratasi, maka proyeksi optimistis pemerintah bisa terhambat. Sebaliknya, bila pemerintah mampu menjaga kondusivitas, peluang pertumbuhan di atas 5 persen masih terbuka.
Baca juga:
Pemprov Jatim Gelar Pasar Murah Stabilkan Harga
Tantangan ke Depan
Ke depan, Indonesia dihadapkan pada tantangan ganda: menjaga stabilitas politik dan memastikan ekonomi tetap tumbuh inklusif. Ketidakpastian global seperti fluktuasi harga komoditas, perubahan kebijakan perdagangan, dan pergerakan suku bunga internasional turut menambah beban.
Dalam kondisi demikian, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan investor. Transparansi data, respons cepat terhadap aspirasi masyarakat, serta kebijakan yang pro-rakyat dinilai menjadi kunci agar Indonesia tidak kehilangan momentum pertumbuhan. (han)