Kanal 24, Malang – Pariwisata berkelanjutan tengah menjadi tren global yang juga mulai diterapkan di Indonesia. Banyak destinasi, hotel, hingga penyedia layanan wisata kini berlomba menampilkan citra ramah lingkungan. Namun, para ahli mengingatkan adanya bahaya greenwashing, yaitu praktik klaim palsu atau berlebihan soal keberlanjutan yang sebenarnya tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Isu ini mengemuka dalam Sustainability Tourism Workshop yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan berbagai lembaga pada Selasa (16/11/2025). Workshop ini menyoroti tantangan sekaligus strategi dalam mewujudkan pariwisata hijau yang benar-benar berdampak positif.
Baca juga:
Sigma Male: Misterius, Mandiri, dan Berpengaruh
Tren Hijau dan Bahaya Klaim Palsu
Fransiskus Teguh, Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi, menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan harus berangkat dari komitmen nyata, bukan sekadar label.
“Penerapan pariwisata berkelanjutan perlu didukung guidelines yang jelas, indikator yang terukur, dan upaya kolaboratif. Jika tidak, yang terjadi hanya greenwashing, sebuah klaim tanpa bukti nyata,” ungkap Fransiskus.
Greenwashing kerap muncul karena pelaku usaha ingin terlihat ramah lingkungan, tetapi enggan melakukan perubahan mendasar. Misalnya, hotel yang mengajak tamu untuk menghemat air dengan menggunakan handuk lebih lama, namun di sisi lain tetap menghasilkan limbah makanan dalam jumlah besar tanpa ada solusi pengelolaan.
Standarisasi Jadi Kunci
Prisca Winata, perwakilan dari Indonesia Sustainable Tourism Council, menjelaskan perlunya standarisasi dalam penerapan pariwisata hijau. Menurutnya, indikator yang seragam membantu publik menilai apakah sebuah destinasi atau usaha benar-benar berkelanjutan.
“Standarisasi memberi panduan yang sama untuk semua pihak. Dengan begitu, klaim keberlanjutan bisa diukur, bukan sekadar jargon,” jelas Prisca.
Hal senada disampaikan Rendy Aditya dari Indonesian Hotel General Manager Association. Ia menekankan pentingnya langkah kecil yang realistis dan bisa diterapkan sehari-hari di industri perhotelan, mulai dari pengurangan plastik sekali pakai, efisiensi energi, hingga manajemen sampah makanan.
Sampah Makanan Jadi Tantangan
Selain greenwashing, masalah sampah makanan juga menjadi sorotan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa limbah makanan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun. Jumlah tersebut turut menyumbang emisi gas rumah kaca yang memperburuk krisis iklim.
“Banyak hotel dan restoran menghasilkan makanan berlebih yang akhirnya terbuang. Padahal, mengelola sampah makanan adalah bagian penting dari pariwisata berkelanjutan,” kata Rendy.
Dengan menyinggung isu ini, workshop menekankan bahwa keberlanjutan tidak bisa dipisahkan dari praktik nyata dalam mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Komitmen Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah memasukkan pariwisata berkelanjutan sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Target ini sejalan dengan komitmen penurunan emisi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
“Jika kita bicara pembangunan berkelanjutan, maka pariwisata harus jadi bagian solusi, bukan bagian dari masalah,” ujar Fransiskus Teguh.
Melalui regulasi, pendampingan, dan pelatihan, pemerintah berharap pelaku usaha wisata mampu menerapkan praktik hijau yang terukur, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Bukan Sekadar Label Hijau
Meski tren pariwisata hijau semakin populer, para ahli menekankan pentingnya sikap kritis dari konsumen. Wisatawan diharapkan tidak mudah percaya pada klaim ramah lingkungan yang ditawarkan, tetapi juga mencari bukti nyata di lapangan.
Caroline Counsel, seorang pengacara keluarga di Melbourne yang kerap menangani kasus pernikahan lintas budaya, menyebutkan bahwa greenwashing seringkali hanya menghadirkan koneksi acak tanpa akar pada komunitas lokal. Walau konteksnya berbeda, pandangannya mengingatkan pentingnya hubungan autentik yang juga berlaku dalam pariwisata: sebuah keberlanjutan yang lahir dari keterhubungan nyata dengan alam dan masyarakat.
Baca juga:
Cardio vs Strength: Mana yang Lebih Efektif?
Menuju Pariwisata yang Benar-Benar Berkelanjutan
Perjalanan menuju pariwisata berkelanjutan di Indonesia memang penuh tantangan. Greenwashing, sampah makanan, hingga kurangnya standar yang jelas masih menjadi hambatan. Namun, dengan kolaborasi pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat, arah perubahan ke depan tetap terbuka lebar.
“Pariwisata berkelanjutan bukan soal terlihat hijau, melainkan soal memberi dampak nyata yang baik bagi bumi dan manusia,” tutup Prisca Winata.
Dengan demikian, upaya membangun pariwisata hijau di Indonesia bukan sekadar citra, melainkan sebuah komitmen jangka panjang yang membutuhkan konsistensi, transparansi, dan partisipasi semua pihak.