Kanal24, Malang – Indonesia menghadapi dampak serius dari perubahan iklim yang menggerus perekonomian nasional. Data terbaru menunjukkan, sepanjang periode 2020 hingga 2024 total kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai Rp544 triliun. Angka fantastis ini dipaparkan oleh Deputi Bidang Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kementerian Koordinator Pangan, Nani Hendiarti, dalam acara Katadata SAFE di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Menurut Nani, kerugian paling besar dialami sektor pesisir dan laut yang mencapai Rp408 triliun. Selain itu, sektor air mengalami kerugian Rp28 triliun, pertanian Rp78 triliun, serta sektor kesehatan Rp31 triliun. “Artinya, potensi kerugian dari perubahan iklim ini cukup besar, terutama di sektor pertanian,” ujarnya.
Mitigasi dan Adaptasi Jadi Kunci
Menghadapi kerugian yang terus meningkat, pemerintah mendorong implementasi pembangunan tahan iklim. Program ini diproyeksikan mampu menekan kerugian hingga Rp61,71 triliun atau setara 79,2 persen dari total potensi kerugian pada 2024.
Nani menegaskan pentingnya sinergi mitigasi dan adaptasi, khususnya di sektor pertanian. Selama ini, Kementerian Pertanian lebih fokus pada adaptasi, padahal langkah mitigasi sama pentingnya untuk jangka panjang. “Kami akan dorong bersama Kementan untuk meningkatkan upaya mereka, baik di mitigasi maupun adaptasi,” jelasnya.
Strategi Karbon Internasional
Salah satu strategi yang tengah difinalisasi adalah pemanfaatan perdagangan karbon internasional. Skema ini diharapkan bisa menjadi sumber pembiayaan aksi iklim. “Semangatnya adalah kita tidak mau kehilangan momentum untuk memanfaatkan nilai ekonomi karbon dari sumber daya alam kita,” kata Nani.
Langkah tersebut sejalan dengan agenda global menuju transisi energi bersih dan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon. Pemanfaatan nilai ekonomi karbon dinilai mampu mempercepat transformasi pembangunan berkelanjutan sekaligus menjaga daya saing ekonomi.
ESG Jadi Pertimbangan Investor
Dampak perubahan iklim dan dorongan mitigasi juga berdampak pada tren investasi. Aspek environment, social, and governance (ESG) kini menjadi faktor utama bagi investor sebelum menanamkan modal di Indonesia.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menyebut produk investasi berbasis ESG menawarkan imbal hasil lebih tinggi dalam jangka panjang dibandingkan instrumen non-ESG. “Indeks yang menggunakan faktor ESG memberikan return yang lebih tinggi untuk jangka panjang,” ujarnya.
Sejak 2015, produk investasi ESG hanya berjumlah satu. Kini, pada pertengahan 2025 jumlahnya melonjak menjadi 24 produk dengan total aset kelolaan mencapai Rp40 miliar untuk investasi pasif.
Perusahaan Lokal Rasakan Dampaknya
Tren ini juga dirasakan oleh industri dalam negeri. Director of Legal, External Affairs, and Circular Economy Chandra Asri Group, Edi Rivai, mengungkapkan bahwa semakin banyak pelanggan, terutama dari luar negeri, yang menekankan pentingnya ESG. “Mereka ingin memastikan bagaimana investasi mereka secure, salah satunya dari ESG,” jelasnya.
Dengan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim yang terus meningkat, pemerintah dan pelaku usaha diingatkan untuk segera mempercepat implementasi pembangunan berkelanjutan. ESG dan perdagangan karbon dinilai bisa menjadi solusi strategis untuk mengurangi risiko sekaligus membuka peluang ekonomi baru. (nid)