Kanal24, Malang – Hampir setiap ponsel pintar kini dilengkapi dengan fitur blue light filter atau mode malam. Apple menamainya Night Shift, Samsung menghadirkannya dengan sebutan Eye Comfort Shield. Tujuannya sama: mengurangi paparan sinar biru dari layar yang dituding sebagai penyebab insomnia digital. Namun, benarkah sinar biru dari gawai adalah biang sulit tidur? Para ahli menegaskan, sinar biru memang berperan dalam regulasi tidur karena memengaruhi sekresi hormon melatonin. Akan tetapi, cahaya ini bukan produk artifisial semata. Sinar biru merupakan bagian alami dari spektrum cahaya dengan panjang gelombang 450–496 nanometer. Keberadaannya justru penting untuk menjaga kewaspadaan, suasana hati, hingga metabolisme tubuh.
Paparan sinar biru terbesar justru berasal dari matahari. Pada pagi dan siang hari, intensitas cahaya matahari bisa mencapai 10 ribu hingga 100 ribu lux, jauh lebih kuat dibanding sinar biru buatan dari layar gawai yang hanya sekitar 50–100 lux. Karena itu, sinar biru dari smartphone sebenarnya terlalu lemah untuk secara signifikan merusak jam biologis tubuh.
Baca juga:
Hotel The 1O1 Malang OJ Rayakan HUT ke-12 dengan Kompetisi SMK se-Jatim
Kekurangan Cahaya Matahari Jadi Masalah Utama
Mengapa sinar biru tetap disalahkan? Menurut pakar, ada dua alasan. Pertama, karena ia memang berkontribusi dalam menekan melatonin. Kedua, karena manusia modern mengalami kekurangan paparan cahaya alami. Banyak orang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam ruangan—kantor, sekolah, pusat perbelanjaan, atau rumah. Ketika keluar pun, mereka sering menghindari sinar matahari dengan kacamata hitam, payung, atau kendaraan tertutup. Padahal, riset yang terbit di The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism (2011) menyebutkan, terpapar sinar matahari 20–30 menit dalam satu hingga dua jam setelah bangun tidur sangat efektif memperbaiki jam biologis. Pada periode inilah tubuh paling responsif terhadap cahaya, sehingga regulasi melatonin dan kortisol berjalan optimal. Jika waktu krusial ini terlewat, jam tidur perlahan bergeser menjadi lebih larut.
Konten, Bukan Layar, yang Bikin Melek
Meski begitu, banyak orang tetap mengeluhkan sulit tidur setelah bermain ponsel. Apakah sinar biru benar-benar penyebabnya? Para peneliti menilai, faktor utamanya bukan cahaya, melainkan konten yang dikonsumsi. Saat menonton serial di Netflix, bermain gim, atau berselancar di media sosial, otak terus mendapat stimulus yang membuatnya aktif. Aktivitas ini menunda rasa kantuk meskipun tubuh sudah lelah. Dengan kata lain, yang membuat mata terjaga lebih lama bukan cahaya dari layar, melainkan informasi yang terus membanjiri otak. Paparan sinar biru dari layar baru bisa berdampak signifikan jika dilakukan dalam kondisi ekstrem: cahaya layar sangat terang, jarak sangat dekat, dan durasi penggunaan sangat lama. Namun, kondisi ini jarang terjadi pada kebanyakan pengguna.
Baca juga:
Ketawa Karier, Lelucon Palsu yang Melelahkan
Industri yang Diuntungkan
Di balik mitos sinar biru, terdapat industri yang meraup keuntungan besar. Salah satunya adalah industri kacamata anti-blue light. Pasarnya tumbuh pesat hingga mencapai nilai 2,9 miliar dolar AS pada 2024 dan diproyeksikan menembus 5,8 miliar dolar AS pada 2034. Produsen gawai juga mengambil peluang dengan menambahkan fitur penapis sinar biru pada ponsel terbaru. Tak ketinggalan, produsen aksesori seperti pelindung layar ikut menjual produk anti-blue light. Meski tidak sepenuhnya sia-sia, manfaat produk-produk ini jauh lebih kecil dibanding paparan cahaya matahari pagi. Dengan berjemur sejenak di waktu yang tepat, jam biologis tubuh dapat disetel secara alami tanpa perlu perangkat tambahan.
Kembali Selaras dengan Alam
Pada akhirnya, sinar biru dari gawai bukanlah musuh utama tidur nyenyak. Yang lebih berpengaruh adalah kurangnya paparan cahaya alami di pagi hari dan stimulus berlebih dari konten digital di malam hari. Solusinya sederhana: sambut sinar matahari di pagi hari, kurangi paparan konten menjelang tidur, dan gunakan teknologi secara bijak. Dengan langkah ini, tubuh bisa kembali menemukan ritme alaminya tanpa harus sepenuhnya bergantung pada fitur atau produk anti-blue light. (ptr)