Kanal24, Malang – Industri hasil tembakau (IHT) tengah menghadapi tantangan berat akibat rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2026. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah pabrik rokok besar. Komisi XI DPR pun meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengevaluasi arah kebijakan fiskal agar tidak semakin membebani sektor padat karya tersebut.
Kekhawatiran PHK Massal di Pabrik Rokok
Dalam rapat kerja bersama Menteri Keuangan, anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, mengungkapkan adanya kabar kesulitan keuangan yang dialami perusahaan rokok besar. Ia menyoroti risiko PHK massal jika tarif cukai dinaikkan secara agresif. Menurutnya, struktur biaya industri rokok, khususnya Sigaret Kretek Mesin (SKM), sudah sangat terbebani oleh pungutan cukai.
Baca juga:
Kemenkeu Lanjutkan Efisiensi Anggaran di 2026
“Kalau terjadi kenaikan cukai di tahun depan, apalagi agresif, maka menyulitkan. Banyak pihak sudah memberi masukan bahwa untuk seribu perak harga rokok, 760 itu cukai. Kalau naik 10 persen, menjadi 840. Tidak ada lagi ruang menutup biaya produksi,” tegas Harris, Jumat (12/9/2025).
Alternatif Penerimaan Negara Tanpa Kenaikan Tarif
Meski mendukung target penerimaan negara, Harris mendorong pemerintah mencari strategi selain menaikkan tarif. Ia menilai pemberantasan rokok ilegal dapat menjadi solusi untuk meningkatkan penerimaan. Dengan pengawasan ketat terhadap distribusi produk ilegal, negara bisa menutup kebocoran penerimaan tanpa menekan industri legal yang tengah lesu.
“Maka dari itu, harapan kita penerimaan cukai tetap naik tanpa kenaikan tarif. Jalannya, pemberantasan rokok ilegal harus digencarkan,” tambahnya.
Harapan dari Pelaku Industri
Pergeseran posisi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa turut mendapat perhatian pelaku industri. Direktur PT Gudang Garam Tbk, Istata Taswin Siddharta, menyebut pergantian tersebut membawa harapan baru. Menurutnya, Menteri Keuangan yang baru dinilai memiliki kemampuan teknis mumpuni untuk mengelola kebijakan makro, termasuk cukai.
“Kami hanya berharap kebijakan ke depan mempertimbangkan kondisi makro Indonesia secara menyeluruh. Harapannya, tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan kenaikan cukai,” ujarnya dalam konferensi pers Pubex Live 2025, Kamis (11/9/2025).
Industri Tembakau Alami Kontraksi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi -3,77 persen (yoy) pada kuartal I 2025, berbanding terbalik dengan pertumbuhan 7,63 persen di periode sama tahun lalu. Produksi rokok selama semester pertama 2025 hanya 142,6 miliar batang, turun 2,5 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini menjadi yang terendah dalam delapan tahun terakhir, kecuali 2023.
Per Juni 2025, produksi tercatat hanya 24,8 miliar batang, merosot 5,7 persen dibanding Mei dan turun 3,2 persen dibanding periode sama tahun lalu. Kondisi ini menunjukkan tekanan nyata terhadap industri, yang berimbas pada serapan tenaga kerja dan penerimaan cukai negara.
Baca juga:
Harga Emas Dunia Pecah Rekor US$3.600
Menanti Keputusan Kebijakan 2026
Di tengah pelemahan ekonomi global, keberlanjutan kebijakan fiskal Indonesia menjadi perhatian besar. Rencana intensifikasi penerimaan negara, termasuk dari cukai rokok, tercantum dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Namun, DPR menegaskan pemerintah perlu berhati-hati dalam merumuskan strategi agar tidak menimbulkan efek domino terhadap industri padat karya yang menyerap jutaan pekerja.
Jika kebijakan tidak seimbang, industri tembakau berpotensi semakin terpuruk, penerimaan negara terancam stagnan, dan ribuan pekerja menghadapi ancaman PHK massal. Karena itu, keseimbangan antara target fiskal dan keberlangsungan industri menjadi ujian besar bagi Menteri Keuangan baru. (nid)