Kanal24, Malang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-XXII/2024 yang menegaskan jaminan pendidikan gratis hingga tingkat sekolah menengah menjadi momentum besar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Putusan tersebut membuka peluang akses pendidikan tanpa diskriminasi, baik bagi sekolah negeri maupun swasta. Namun, hingga kini pertanyaan besar masih menggantung: mampukah pemerintah mengeksekusi putusan ini secara nyata, atau sekadar berhenti di atas kertas hukum?
Isu ini menjadi sorotan dalam Seminar Nasional bertajuk “Formulasi Pendidikan Gratis Tingkat Sekolah Menengah Pasca Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024: Peluang dan Strategi Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Senin (15/9/2025), di Auditorium Lantai 6 Gedung A FH UB. Seminar menghadirkan akademisi, praktisi, serta perwakilan masyarakat sipil untuk membedah peluang sekaligus tantangan implementasi kebijakan pendidikan gratis pasca putusan MK.
Hak Pendidikan Tanpa Diskriminasi
Dekan FH UB, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa substansi terpenting dari putusan MK ini adalah jaminan hak pendidikan tanpa diskriminasi. Negara, katanya, wajib menjamin akses pendidikan setara, baik di sekolah negeri maupun swasta.
“Inti dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah jaminan tanpa diskriminasi atas pendidikan. Artinya, hak pendidikan yang dijamin negara berlaku sama, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Besok, ketika semuanya mempunyai akses tanpa biaya, barulah negara bisa disebut benar-benar menjamin hak pendidikan secara nondiskriminatif,” ujar Aan.
Namun, ia mengingatkan bahwa implementasi putusan tersebut tidak hanya bergantung pada MK sebagai cabang kekuasaan yudisial, melainkan terutama pada pemerintah sebagai eksekutor kebijakan. “Persoalannya ada pada political will. Putusan MK sudah jelas, tapi eksekutif yang punya kewenangan menjalankan. Sampai hari ini, saya melihat pemerintah lebih fokus pada program makan bergizi gratis, bukan pendidikan gratisnya. Ini justru bertolak belakang dengan mandat putusan MK,” tambahnya.
Ketiadaan Regulasi Turunan
Aan juga menyoroti ketiadaan regulasi turunan yang menjadi kendala nyata dalam implementasi putusan MK. Menurutnya, tanpa peraturan pelaksana yang jelas, wacana pendidikan gratis hanya akan menjadi slogan politik.
“Minimal harus ada regulasi turunan agar sekolah negeri maupun swasta punya dasar hukum dalam menyelenggarakan pendidikan gratis. Faktanya, regulasi saja belum ada, bagaimana mungkin eksekusi bisa dilakukan?” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti disparitas yang terjadi antara sekolah negeri dan swasta. Biaya pendidikan di sekolah swasta, khususnya di perkotaan besar, bisa mendekati bahkan menyamai biaya pendidikan tinggi. “Jurang ini menciptakan diskriminasi kualitas. Negeri relatif standar karena dibiayai negara, sementara swasta bergantung penuh pada kemampuan orang tua murid. Akibatnya, kualitas pendidikan bisa timpang, dan yang dirugikan adalah generasi muda kita,” jelas Aan.
Dimensi Hukum dan Tanggung Jawab Negara
Pandangan serupa disampaikan M. Akbar Nursasmita, S.H., M.H., dosen Hukum Tata Negara FH UB sekaligus Ketua Pelaksana seminar. Ia menjelaskan bahwa putusan MK ini berkaitan erat dengan Pasal 34 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menekankan kewajiban negara untuk mengurus sekolah swasta.

“Pendidikan adalah isu mendasar, semua orang membutuhkannya. Selama ini, biaya pendidikan semakin mahal, baik di jenjang dasar, menengah, hingga tinggi. Karena itu, putusan MK ini sangat penting untuk ditegakkan,” ujarnya.
Akbar menambahkan, putusan ini memberikan peluang besar bagi pemerintah untuk mendanai sekolah swasta sehingga akses pendidikan benar-benar merata. “Konstitusi sudah jelas: pendidikan adalah hak seluruh rakyat. Negara wajib hadir, bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga swasta. Masyarakat berhak menuntut negara menjalankan kewajibannya,” tegasnya.
Menjembatani Kesenjangan Menuju Indonesia Emas
Seminar nasional ini sekaligus menjadi ruang dialog antara akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil dalam merumuskan strategi menuju Indonesia Emas 2045. Para pembicara sepakat bahwa pendidikan gratis adalah fondasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang unggul.
Namun, jalan menuju ke sana masih penuh tantangan. Selain political will, kesiapan fiskal, serta regulasi turunan, keterlibatan publik juga mutlak diperlukan. Diskusi ini menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat sipil untuk mengawal proses legislasi maupun implementasi kebijakan pendidikan gratis.
“Putusan MK adalah pintu masuk. Tapi tanpa keterlibatan publik, pemerintah bisa saja menjalankannya setengah hati. Oleh karena itu, masyarakat harus aktif menagih haknya, akademisi harus kritis mengawasi, dan media harus mengawal,” ungkap salah satu panelis dalam sesi diskusi.
Seminar ini memberi catatan penting bahwa pendidikan gratis bukan lagi sekadar janji politik, melainkan amanat konstitusi. Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah pemerintah memiliki kemauan politik yang cukup kuat untuk mengeksekusinya?
Selama disparitas antara negeri dan swasta masih tinggi, regulasi belum disiapkan, dan implementasi belum nyata, maka amanat putusan MK hanya akan menjadi teks hukum tanpa nyawa. Padahal, seperti ditegaskan Dr. Aan, “Generasi emas 2045 tidak akan lahir dari sistem pendidikan yang diskriminatif.” (Din/Dht)