Kanal24, Malang – Peran Menteri Keuangan menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia yang kerap dilanda tantangan, baik dari dalam negeri maupun dinamika global. Salah satu sosok yang menonjol dalam dua dekade terakhir adalah Sri Mulyani Indrawati, yang menjabat di bawah tiga presiden berbeda: Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto. Konsistensi serta kepercayaan lintas pemerintahan menunjukkan pengakuan terhadap kapasitasnya dalam menjaga kredibilitas fiskal Indonesia.
Kiprah Panjang di Tiga Pemerintahan
Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., pengamat politik luar negeri Universitas Brawijaya, menilai Sri Mulyani memiliki posisi unik karena dipercaya oleh tiga presiden dengan gaya kepemimpinan berbeda. Pada masa Presiden SBY, ia menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, kemudian berlanjut di era Jokowi melalui Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju, hingga awal masa pemerintahan Presiden Prabowo.
Baca juga:
Verdy Firmantoro: Reshuffle Kabinet Prabowo Dampak Tekanan Publik

“Ini luar biasa, karena ada menteri yang lama menjabat karena presidennya lama. Tapi Sri Mulyani dipercaya oleh tiga presiden berbeda, itu jarang sekali,” jelas Adhi. Hal ini menunjukkan bahwa kredibilitas Sri Mulyani tidak hanya dibangun dari kapasitas teknokratis, melainkan juga kepercayaan politik yang besar.
Kebijakan Fiskal dan Perpajakan
Kontribusi terbesar Sri Mulyani terletak pada sektor perpajakan. Penelitian akademiknya sejak program doktoral di Amerika Serikat sudah menyinggung soal pajak dan tenaga kerja, yang kemudian menjadi fondasi dalam kebijakan di Kementerian Keuangan. Reformasi perpajakan, peningkatan penerimaan negara, serta pengelolaan fiskal yang hati-hati menjadi ciri khas kepemimpinannya.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul pula sejumlah kritik. Beberapa kasus oknum di Direktorat Jenderal Pajak menimbulkan sorotan publik dan menjadi tantangan bagi citra kementerian. Adhi menegaskan, “Kekecewaan publik kadang bukan soal kebijakan Sri Mulyani secara pribadi, tapi karena sistem di bawahnya yang belum sepenuhnya bersih.”
Warisan Program Strategis
Selain perpajakan, Sri Mulyani juga meninggalkan warisan penting dalam bentuk program beasiswa LPDP yang diluncurkan pada 2014. Program ini membuka kesempatan bagi ribuan mahasiswa Indonesia untuk menempuh studi lanjut di luar negeri. Hingga kini, LPDP menjadi instrumen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Kebijakan fiskal era Sri Mulyani juga dinilai mampu menjaga stabilitas ekonomi saat pandemi Covid-19. Indonesia tidak terperosok ke jurang resesi dalam-dalam seperti negara lain, sehingga memperkuat posisi di G20 sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Tantangan dan Kontroversi
Meski demikian, Sri Mulyani tidak lepas dari kontroversi. Pernyataannya mengenai guru dan dosen sempat menuai kritik luas. Adhi menilai, “Sebagai pejabat publik, ucapan sekecil apapun bisa berdampak besar. Ini sering kali menjadi titik lemah Sri Mulyani.”
Selain itu, keberlanjutan kebijakan perpajakan juga menuai resistensi masyarakat, terutama terkait kenaikan sejumlah pajak daerah dan pusat. Hal ini menjadi pemicu demonstrasi publik yang akhirnya menuntut perubahan kepemimpinan di Kementerian Keuangan.
Baca juga:
Dekan FH UB: Kasus Munir Mandek, Tersandera Kekuasaan
Pergantian sebagai Regenerasi
Bagi Adhi, pergantian Sri Mulyani bukanlah bentuk kekecewaan, melainkan bagian dari regenerasi. Presiden Prabowo membutuhkan figur yang benar-benar sejalan dengan visi ekonominya. “Menteri Keuangan adalah ujung tombak kebijakan ekonomi. Jadi wajar kalau presiden memilih orang kepercayaannya sendiri,” jelasnya.
Sri Mulyani memang meninggalkan catatan panjang: sukses menjaga kredibilitas fiskal, berperan penting di forum internasional, namun juga meninggalkan pekerjaan rumah dalam hal reformasi sistem perpajakan. Sejarah akan mencatatnya sebagai salah satu Menteri Keuangan paling berpengaruh di Indonesia. (nid)