Kanal24, Malang – Di tengah kondisi bangsa yang penuh ketidakpastian, rasa cemas menjadi hal yang lumrah. Tayangan televisi, linimasa media sosial, hingga percakapan sehari-hari sarat dengan isu negatif yang menimbulkan rasa was-was. Namun, di balik kewajaran tersebut, ada ancaman yang perlu diwaspadai: gangguan cemas atau ansietas. Dokter spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Lahargo Kembaren, menjelaskan bahwa kecemasan adalah reaksi normal ketika menghadapi situasi tak kondusif. Masalahnya muncul ketika reaksi itu berlebihan sehingga justru melumpuhkan diri.
“Rasa cemas pada dasarnya reaksi positif. Tubuh ingin cepat melindungi diri untuk memastikan keamanan. Tetapi bila berlebihan, ia berubah menjadi gangguan cemas dengan berbagai gejala yang mengganggu aktivitas,” kata Lahargo, Kamis (4/9/2025).
Baca juga:
Valiant Budi Tekankan Pentingnya Keberanian Menulis
Sembilan Gejala Gangguan Cemas
Menurut Lahargo, ada sembilan gejala yang kerap muncul ketika seseorang mengalami ansietas. Gejala ini menyentuh aspek fisik maupun psikologis:
- Perasaan khawatir, gelisah, dan panik.
- Takut mati atau kehilangan kontrol.
- Jantung berdebar lebih kencang.
- Napas terasa pendek atau berat.
- Gangguan pencernaan: mual, kembung, hingga diare.
- Kepala terasa pusing dan berat.
- Sensasi kulit gatal atau kesemutan.
- Otot kaku, tegang, dan nyeri.
- Sulit tidur atau kualitas tidur terganggu.
“Gejala ini bisa datang bersamaan atau sebagian. Jika dibiarkan, gangguan cemas bisa menurunkan kualitas hidup bahkan memicu masalah kesehatan lain,” jelasnya.
Reaktif atau Responsif?
Menariknya, Lahargo menilai kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja memunculkan dua sikap mental berbeda di masyarakat: reaktif dan responsif.
- Reaktif muncul dengan sikap cepat panik, tegang, dan agresif. Sikap ini biasanya justru memperburuk kecemasan.
- Responsif ditunjukkan dengan sikap tenang, terukur, mencari informasi valid, dan mengambil keputusan bijak.
Untuk melatih diri agar lebih responsif, Lahargo menyarankan pola sederhana yang bisa diingat dengan singkatan B-A-A-R:
- Breathe (Tarik napas): beri waktu sebelum bereaksi.
- Assess (Nilai fakta): cek kebenaran informasi dari sumber resmi.
- Action (Bertindak tepat): lakukan hal yang benar-benar bermanfaat.
- Reflect (Refleksi): evaluasi dan siapkan langkah berikutnya.
Tetap Waspada, Jangan Berlebihan
Menurut Lahargo, rasa cemas wajar bahkan diperlukan. Masalahnya terletak pada cara mengelola kecemasan. “Waspada itu penting, tapi jangan sampai kehilangan ketenangan. Cemas yang berlebihan hanya akan memperburuk kondisi mental,” ujarnya. Ia menyoroti konsumsi media sosial yang sering menjadi pemicu utama kecemasan berlebih. Fenomena doomscrolling—menyusuri konten negatif tanpa henti—menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya ansietas di masyarakat.
Tips Mengelola Cemas di Era Digital
Untuk menjaga kesehatan mental, Lahargo membagikan strategi sederhana yang bisa diterapkan sehari-hari
- Sadari pola cemas: catat kapan dan konten apa yang memicu kecemasan.
- Atur batas digital: gunakan timer, mute akun pemicu emosi, dan ikuti akun positif.
- Cek fakta sebelum bereaksi: jangan terpancing judul sensasional, beri jeda sebelum komentar.
- Buat jeda fisik: jauhkan ponsel saat tidur atau makan, alihkan dengan aktivitas positif.
- Isi pikiran dengan hal baik: konsumsi berita positif, praktikkan rasa syukur, lakukan kegiatan offline yang menyenangkan.
Baca juga:
Tips dan Trik Menjadi Elegan untuk Menonjol di Kantor
Otak Butuh Tenang
Lahargo mengingatkan bahwa algoritma media sosial bekerja dengan memberi asupan drama. Namun, otak manusia butuh kedamaian, bukan kekalutan. “Jangan biarkan algoritma mengendalikan hidup Anda. Kitalah yang seharusnya mengendalikan teknologi,” tegasnya. Ia juga menganjurkan masyarakat yang sudah merasa terganggu kesehariannya oleh gejala cemas untuk segera mencari pertolongan profesional. Baik melalui psikolog, psikiater, maupun konselor kesehatan jiwa, dukungan yang tepat dapat mengembalikan kendali atas kesehatan mental. Gangguan cemas bukanlah tanda kelemahan, melainkan kondisi medis yang bisa diatasi. Dengan mengenali gejalanya sejak dini, mengelola respons diri, dan membatasi paparan negatif, masyarakat bisa tetap menjaga ketenangan di tengah situasi sulit. (ptr)