Kanal24, Malang – Festival Kampung Budoyo yang digelar pada Jumat (19/9/2025) di Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, menghadirkan suasana meriah sekaligus penuh makna. Memasuki tahun ketiga penyelenggaraan, festival ini mengangkat tema Global Village, menandai transformasi Ketawanggede dari sekadar kampung lokal menjadi kampung berwawasan internasional.
Lurah Ketawanggede, R. Agung Harjaya Buana, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya sebatas perayaan budaya, melainkan juga bagian dari strategi pelestarian tradisi sekaligus memperkenalkan Indonesia ke ranah global. “Tahun ini kita ingin mengangkat budaya nasional ke dalam pentas dunia. Mahasiswa asing dari Jerman, Afghanistan, Afrika, Myanmar, Timor Leste, hingga Kazakhstan ikut hadir. Ini membuktikan Ketawanggede kini bukan hanya kampung lokal, tapi sudah menjadi kampung internasional,” ujarnya.
Baca juga:
Empat Kota Asia Tenggara untuk Liburan Maulid

Kolaborasi Kampung dan Perguruan Tinggi
Festival ini menjadi wujud nyata dari program Kelurahan Lingkar Kampus yang melibatkan Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Islam Negeri Malang. Dukungan dari kedua perguruan tinggi tersebut diwujudkan melalui program sosial seperti pusat pembelajaran keluarga (Puspaga), pos bantuan hukum (Posbankum), hingga pendampingan konseling bagi warga maupun mahasiswa.
Sekretaris UB, Dr. Tri Wahyu Nugroho, menegaskan bahwa kolaborasi ini merupakan implementasi visi kampus dalam membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sekitar. “Festival ini bukan hanya ekspresi kegembiraan, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian UMKM. Program Kampung Lingkar Kampus mendorong setiap fakultas di UB untuk aktif hadir dan berkontribusi di Ketawanggede,” ungkapnya.

Panggung UMKM dan Kearifan Lokal
Sebanyak lebih dari 135 UMKM lokal ikut meramaikan festival dengan berbagai produk, mulai dari makanan tradisional, batik, hingga kerajinan tangan. Lina dan Ira, perwakilan pelaku UMKM, mengaku sangat terbantu dengan adanya festival ini. “Kami bisa mengenalkan jajanan jadul dengan harga terjangkau, mulai Rp5.000–Rp10.000. Selain itu ada jamu sehat dan produk khas warga yang bisa dinikmati pengunjung,” ujar mereka.
Selain UMKM, festival ini juga menghadirkan beragam pertunjukan budaya, termasuk reog, musik keroncong, banjari, hingga dangdut. Ketua pelaksana, Yanto, menyebut rangkaian acara dirancang agar tidak monoton. “Kalau hanya UMKM saja pengunjung bisa bosan. Maka setiap tahun kita hadirkan seni pertunjukan supaya budaya Indonesia semakin dikenal sekaligus menyatu dengan suasana kampung,” jelasnya.
Perspektif Mahasiswa Asing
Keterlibatan mahasiswa asing menjadi daya tarik tersendiri. Kay Zin Linn asal Myanmar dan Alima Abitayeva dari Kazakhstan mengaku terkesan dengan festival ini. “Kami sangat senang bisa melihat tradisi Indonesia secara langsung, menikmati makanan, dan berinteraksi dengan warga. Ini salah satu pengalaman terbaik kami di Malang,” ujar Alima.
Bagi Kay, festival ini juga memberi kesempatan untuk memahami budaya lokal lebih dekat. “Orang-orang di sini sangat ramah. Saya berharap semakin banyak orang bisa hadir di acara ini dan merasakan sendiri kehangatan masyarakatnya,” katanya.

Baca juga:
Berbagai Macam Tradisi Maulid Nabi di Nusantara
Membangun Kampung yang Edukatif dan Sejahtera
Selain sebagai ajang budaya, Festival Kampung Budoyo juga menjadi momentum peluncuran program-program sosial, termasuk layanan konseling keluarga dan bantuan hukum. Hj. Aprilia Mega Rosdiana, M.Si, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak, menilai langkah ini strategis untuk membangun masyarakat yang sehat dan harmonis. “Puspaga hadir untuk memberikan edukasi pranikah, pendampingan keluarga, hingga konsultasi remaja. Kami berharap program ini berkelanjutan dan bisa menjadi contoh bagi kelurahan lain di Malang,” ujarnya.
Festival ini juga mendukung program 1000 Event Pemerintah Kota Malang yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perputaran ekonomi kreatif dan pariwisata. Dengan dukungan pemerintah, perguruan tinggi, UMKM, dan masyarakat, Ketawanggede meneguhkan diri sebagai kampung budaya yang mendunia. (nid/tia)