Kanal24, Malang – Festival Seni Wisesa Rasa yang berlangsung pada 19–21 September 2025 di Desa Budaya Tumpang, Malang, berhasil mencuri perhatian publik sekaligus menghangatkan hati masyarakat. Acara ini menghadirkan pameran karya seni, penampilan tari, serta interaksi budaya yang menjadikan anak-anak berkebutuhan khusus sebagai subjek utama.
Ratusan pengunjung menikmati pameran lukisan karya siswa-siswi SLB Islam Yasindo Tumpang. Lukisan-lukisan tersebut mencerminkan imajinasi, keberanian, serta kekuatan batin anak-anak dalam mengekspresikan diri. Tak hanya itu, seniman undangan juga turut serta memamerkan karya mereka sebagai bentuk “transfer knowledge” bagi para peserta muda Wisesa.
Baca juga:
Wisesa Rasa Satukan Rasa Lewat Seni Anak Berkebutuhan Khusus
Simbol Kebersamaan dan Inklusi
Festival dibuka dengan penampilan tari dari anak-anak SLB Islam Yasindo serta siswa sekolah sekitar Tumpang. Penampilan lintas sekolah ini menjadi simbol inklusi sosial, gotong royong, dan semangat persaudaraan tanpa membedakan kondisi anak. Orang tua pun tampak bangga sekaligus haru melihat putra-putrinya dihargai karena bakat dan karya mereka, bukan semata-mata karena keterbatasan.
“Wisesa Rasa adalah pengembangan tiga potensi dari Desa Budaya Tumpang yaitu seni rupa, Candi Jago, dan transportasi tradisional cikar. Melalui Wisesa Rasa, kami ingin menunjukkan bahwa seni adalah bahasa yang menyatukan,” jelas Siti Nurvianti, Ketua Lembaga Adat Desa Tumpang, mewakili panitia pada Senin (22/09/2025).
Perpaduan Seni dan Warisan Budaya
Selain pameran dan pertunjukan, pengunjung juga diajak menjelajah sejarah lewat edukasi naik cikar menuju Candi Jago. Cikar, yang kini hampir punah, menjadi medium transportasi tradisional yang memberi pengalaman berbeda. Setibanya di Candi Jago, anak-anak Wisesa diperkenalkan pada kisah relief mulai dari Tantri Kamandaka, Ari Dharma, Partayadnya, hingga Kunjarakarna.
Kegiatan ini mempertegas pesan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus berhak atas akses pengetahuan dan pengalaman budaya sama seperti anak-anak lainnya. Seni, sejarah, dan kearifan lokal berpadu menjadi ruang pembelajaran yang inklusif.
Baca juga:
Empat Kota Asia Tenggara untuk Liburan Maulid
Harapan untuk Keberlanjutan
Keberhasilan Wisesa Rasa tidak terlepas dari dukungan guru, orang tua, masyarakat Tumpang, hingga para pegiat seni dan budaya. Festival ini diharapkan menjadi agenda tahunan yang mampu memperluas ruang ekspresi anak-anak berkebutuhan khusus, sekaligus menginspirasi masyarakat untuk lebih menghargai keberagaman.
Dengan berakhirnya festival ini, publik diajak merenungi bahwa keberagaman adalah kekuatan. Seni menjadi bahasa universal yang mampu merangkul semua orang tanpa batas, sekaligus menjadi jembatan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif. (nid)