Kanal24, Malang – Satu dasawarsa pelaksanaan otonomi desa menandai tonggak penting dalam perjalanan demokrasi dan pembangunan di Indonesia. Undang-Undang Desa yang lahir dengan semangat membangun dari pinggiran telah membuka ruang besar bagi desa untuk tumbuh mandiri dan sejahtera. Dana desa yang terus meningkat dari tahun ke tahun seharusnya menjadi instrumen strategis dalam memperkuat kapasitas ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat desa. Namun, di lapangan, praktik pengelolaan dana kerap menghadapi persoalan klasik: politik elektoral, lemahnya kapasitas aparatur desa, hingga potensi penyalahgunaan anggaran.
Baca juga : Sosiolog UB : Misalokasi Jika Dana Desa untuk Tekan Inflasi
Dekan FISIP UB sekaligus editor buku, Dr. Ahmad Imron Rozuli, S.E., M.Si., menegaskan bahwa momentum sepuluh tahun otonomi desa harus digunakan sebagai titik evaluasi yang serius.
“Jalan satu dasawarsa ini saya kira memang negara ini patut untuk lebih mendalami hasil capaian dari undang-undang desa melalui evaluasi. Dari situ, harus menjadi pijakan untuk mengakarkan fundamental aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih bermakna. Ketika desa tumbuh produktif, dampaknya akan meluas hingga masyarakat perkotaan,” jelasnya saat bedah buku Satu Dasawarsa Perjalanan Otonomi Desa di Auditorium Nuswantara, Rabu (24/9/2025). Buku bunga rampai yang berisi tulisan akademisi dari lima universitas ini berupaya menghadirkan catatan kritis sekaligus tawaran jalan baru bagi penguatan otonomi desa.
Menurut Imron, inisiatif penulisan buku ini tidak hanya lahir dari internal FISIP, melainkan juga melibatkan jejaring akademisi lintas kampus. Kehadiran beragam perspektif diharapkan dapat memperkaya gagasan tentang pembaruan desa dan memperluas penyebarannya. “Kami berharap, apa yang kami rintis ini bisa disebarluaskan ke seluruh pelosok, agar semua universitas dapat berkontribusi nyata dalam pengembangan desa,” tambahnya.

Tantangan Pengelolaan Dana Desa
Salah satu poin yang disorot Imron adalah persoalan tata kelola dana desa. Meski jumlah anggaran yang digelontorkan terus meningkat, implementasinya seringkali menghadapi kendala. Biaya tinggi dalam pemilihan kepala desa, misalnya, kerap membuat kepala desa baru berusaha “mengembalikan modal” dari dana desa yang dikelola.
“Ini menjadi masalah serius. Karena itu, kami sedang berupaya menghadirkan Sekolah Kepemimpinan Kader Desa agar setiap kepala desa punya syarat minimal mengikuti kursus perencanaan dan penganggaran. Dengan begitu, mereka bisa mengelola dana secara produktif, bukan sekadar memenuhi kepentingan politik jangka pendek,” tegasnya.
Menurutnya, keberhasilan otonomi desa pada akhirnya harus bermuara pada masyarakat sebagai penerima manfaat utama. “Yang diuntungkan sebetulnya masyarakat, karena tujuan bernegara adalah kesejahteraan. Kalau desa kuat, maka negara pun akan kuat,” tandas Imron.

Memastikan Tata Kelola Otonomi Desa
Sebagai pembahas, Dr. Moch Fauzi Said, M.Si., dosen Prodi Ilmu Politik UB, menyoroti pentingnya memastikan tata kelola pemerintahan desa tetap berada di jalur yang benar.
“Otonomi desa yang on the track harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Fungsi utama aparat desa adalah melayani masyarakat demi kesejahteraan yang dipimpinnya,” ujarnya.
Fauzi mengingatkan bahwa lemahnya pengawasan menjadi salah satu akar persoalan. Banyak kasus korupsi justru terjadi di tingkat desa. Karena itu, ia menekankan perlunya pendampingan yang sistematis, termasuk kerja sama dengan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pemerintah desa harus diawasi dengan sebaik-baiknya. KKN mahasiswa bisa diarahkan untuk menemukan role model pengelolaan dana desa yang baik, dengan bimbingan KPK maupun akademisi,” jelasnya.
Menurut Fauzi, desa adalah unit pemerintahan terkecil yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, desa harus menjadi prioritas perhatian, baik oleh pemerintah maupun kalangan akademisi. “Akademisi dan pemerintah harus benar-benar ikut tersentak, memikirkan, dan terjun langsung agar desa-desa kita menjadi desa yang mandiri, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas,” tegasnya.
Baca juga : Menggagas Masa Depan Desa: UB Luncurkan Buku Satu Dasawarsa Perjalanan Otonomi Desa
Refleksi dan Kolaborasi Lintas Sektor
Acara bedah buku ini menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa pengembangan desa bukan hanya urusan pemerintah pusat atau daerah, tetapi juga dunia akademik. Melalui karya ilmiah, diskusi, dan kolaborasi lintas kampus, gagasan tentang reformasi desa dapat terus disebarluaskan.
Selain buku “Satu Dasawarsa Perjalanan Otonomi Desa”, FISIP UB bersama jejaringnya juga menyiapkan karya lain, seperti buku tentang politik ekologi dan sumber daya desa, serta modul sekolah kepemimpinan kader desa. Semua ini menjadi bagian dari upaya sistematis untuk memperkuat kapasitas desa di masa depan.
Otonomi desa bukan sekadar tentang kucuran dana, tetapi bagaimana dana tersebut dikelola secara akuntabel dan produktif. Desa yang berdaya akan menjadi motor penggerak kesejahteraan, bukan hanya bagi warganya, tetapi juga bagi masyarakat kota yang ikut merasakan dampak positif dari desa yang tumbuh.
Sebagai penutup, refleksi satu dasawarsa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati dimulai dari akar rumput. Ketika desa mampu mengelola potensi, menjaga integritas, dan membangun kolaborasi, maka cita-cita Indonesia sejahtera bukanlah sesuatu yang mustahil.(Din/Dhit)